Minggu, 27 Mei 2012

Yusril Siapkan Gugatan Lagi


JAKARTA – Penasihat bidang hukum Kepresidenan tampaknya bakal dibikin pusing lagi. Yusril Ihza Mahendra bakal mengajukan kembali materi gugatan lain terkait kebijakan dan peraturan yang melawan undang-undang ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut mantan Menteri Hukum dan HAM itu, tak sedikit kebijakan dan peraturan pemerintah yang tidak sejalan dengan pandangan hukum.
’’Masih ada lagi. Tidak berhenti pada perkara yang sudah diputuskan. Kalau memang ada penyimpangan hukum lain, harus diajukan gugatan,’’ ujar Yusril Ihza Mahendra kepada INDOPOS melalui telepon, kemarin.
Yusril yang pernah menjabat menteri tiga kali ini mengungkapkan, pengajuan gugatan terhadap peraturan atau kebijakan yang melawan hukum ini lebih didasari oleh upaya menegakkan keadilan semata. Meluruskan segala sesuatu yang memang tidak selaras dengan perundang-undangan.
Profesor hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI) ini memastikan tidak ada persoalan dengan pribadi atau pun pejabat negara. Gugatan yang diajukan sebatas pembuktian supremasi hukum. ’’Kalau kita mengaku sebagai negara supremasi hukum, maka hukum harus ditegakkan, tidak pilih-pilih,’’ tutur pria asli Bangka Belitung ini.
Lebih lanjut dia mengungkapkan dorongan mengajukan berbagai gugatan ke PTUN dan MK juga didasari oleh tanggung jawab moral. Sebagai akademisi yang memahami persoalan hukum, perlu memberikan langkah penegakan hukum.
Yusril berharap tindakan yang dilakukan dapat memberikan pemahaman hukum yang luas bagi masyarakat. Tidak sebatas pada pejabat pemerintah, karena memang penegakan hukum harus tetap diutamakan. ’’Jadi ini tanggung jawab moral. Tanggung jawab keilmuan,’’ ucapnya.
Dicontohkan Yusril gugatan terkait moratorium remisi yang diajukan Kementerian Hukum dan HAM. Peraturan itu sangat berlawanan dengan perundang-undangan yang ada, sehingga pantas untuk dilakukan gugatan. ’’Hasil putusan itu sewajarnya menjadi pembelajaran. Terserah pemerintah menanggapi hasil putusan yang ditetapkan pengadilan,’’ ujarnya.
Ditanya soal konflik pribadi dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, tak ditanggapi Yusril. Bahkan memilih diam saat INDOPOS mempertajam pertanyaan tersebut. ’’Saya rasa cukup itu saja, nanti bisa telepon lagi,’’ tuturnya sambil menutup telepon.
Sementara itu, pakar hukum tata Negara UI, Mustofa Fahri mengakui ada persoalan dalam perumusan kebijakan atau pun peraturan yang diterbitkan pemerintah. Peraturan tersebut melawan tata perundang-undangan yang ada. Akibatnya, banyak persoalan timbul dalam penerapan. Bahkan memancing kontroversi dari berbagai praktisi hukum. ’’Gugatan yang diajukan Prof Yusril adalah sebagian contoh saja,’’ tutur dosen Fakultas Hukum UI. tak memberikan jawaban. Dua nomor telepon seluler yang biasa digunakan tak
memberikan jawaban.

Tak Paham PTUN
Sebelumnya, mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menuding Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana tak paham dengan hukum acara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tudingan Yusril itu terkait pernyataan Denny di media yang menyebut pemberitahuan putusan sela dikirim melalui telepon jelas menyalahi UU PTUN.
Namun menurut Yusril, berdasarkan surat Ketua Muda Urusan Tata Usaha Negara dari Mahkamah Agung (MA) Nomor 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992, maka penyampaian putusan dapat dilakukan lewat teleks, telegram, faksimili ataupun kurir langsung. ’’Yang disampaikan cukup extrak penetapan, baru kemudian harus disusul dengan pengiriman penetapan selengkapnya via pos,’’ kata Yusril di Jakarta, Sabtu (19/5).
Polemik antara Denny dan Yusril itu terkait putusan sela dari PTUN Jakarta Pusat yang memerintahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Mendagri Gamawan Fauzi agar tidak mengeksekusi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48/P Tahun 2012 tanggal 2 Mei 2012 yang mengesahkan pengangkatan Wagub Bengkulu Junaidi sebagai gubernur definitif menggantikan Agusrin yang menjadi terpidana korupsi.
Menurut Yusril, dalam UU Nomor 5 Tahun tahun 1986 tentang PTUN pasal 67 ayat (2) disebutkan bahwa permohonan penundaan hanya dapat dilakukan apabila terdapat keadaan sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika ketentuan yang digugat tetap dilaksanakan. Penundaan atau penangguhan, katanya mengutip UU PTUN, dapat diajukan sekaligus dalam gugatan atau dapat juga terpisah.
’’Jadi permohonan penundaan sebuah keputusan dapat diproses dengan acara cepat, apabila penggugat mengemukakan alasan bahwa jika keputusan itu segera dilaksanakan, maka akan sangat merugikan dirinya dan mungkin akan menimbulkan keadaan yang tak dapat dipulihkan lagi. Kalau berkas permohonan perkara masih di tangan ketua PTUN, maka Ketua dan Panitera berwenang menunda pelaksanaan keputusan TUN itu,’’ lanjut Yusril.
Mantan Menteri Hukum dan HAM itu juga mengatakan, apabila berkas sudah di tangan majelis maka menjadi kewenangan majelis pula untuk memutus penundaannya.
’’Dengan demikian, tidak ada kejanggalan penetapan sela Kepres 48/P Th 2012 terkait gugatan Agusrin. Semua prosedur hukam acara Tata Usaha Negara telah dilaksanakan. Denny tidak paham hal ini,’’ katanya.
Sembari bercanda Yusril pun mengaku heran dengan pernyataan Denny yang menunjukkan ketidakpahaman tentang hukum acara PTUN. ’’SBY saja legowo menerima putusan TUN, kok Denny malah ngeyel,’’ pungkasnya.

Denny yang menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, menuding putusan sela PTUN tidak sah sebab diputus pada hari yang sama dengan hari pengajuan gugatan. Dan putusan tersebut tidak dituangkan dalam bentuk tertulis.
Melalui akun twitter, Denny mengatakan, ’’Tidak ada telex/telegram pun yang dilakukan. Penetapan menulis pemberitahuannya dengan telepon. Tidak sah!,’’ tulis Denny dalam akun twitternya, @dennyindrayana, kemarin.
Pernyataan ini menanggapi komentar Yusril yang menyatakan penyampaian putusan sela sudah sah sesuai UU. ’’Mengingat sifatnya 'sangat mendesak' cara penyampaian dapat dilakukan dengan telegram/telex atau dengan kurir,’’ tulis Yusril dalam akun twitternya @Yusrilihza_Mhd. (rko)