Senin, 30 April 2012

Keelokan Damai Danau Singkarak




Hari ini saya mau mengajak saudara saudara untuk berkelana kesebuah tempat nan amat elok, cantik, indah damai dan hijau. Belum lengkap kiranya kunjungan wisata anda jika belum menengok lukisan alam yang satu ini, adalah sebuah cekungan alam yang digenangi air yang amat jernih dengan hiasan ikan ikan nan berkeliaran damai dan tenang yakni Danau Singkarak.
Danau Singakarak terletak di Propinsi Sumatera Barat yang dinaungi oleh dua Wilayah yakni Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Danau Singkarak merupakan danau terluas ke-2 di Sumatera setelah Danau Toba yang berada pada ketinggian 36,5 meter dari permukaan laut dan luas 129,69 km.
Danau ini merupakan hulu dari sungai/batang Ombilin yang merupakan sumber pengairan yang penting bagi lahan pertanian yang dilalui oleh aliran sungai ini. Air danau ini sebagiannya juga dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik yang dialirkan melewati terowongan menembus Bukit Barisan ke Batang Anai untuk menggerakkan generator PLTA Singkarak di dekat Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman.
Selain pemandangannya nan amat elok dan indah dicekungan kehijauan alam Bukit Barisan, Danau Singkarak juga menyimpan sebuah keunikan spesies ikan yang ada di dunia yakni IKAN BILIH (latin ; Mystacoleucus padangensis) Species Ikan ini hanya satu satunya di dunia (namun menurut beberapa sumber kiranya jenis ikan ini juga ada di Brazilia). Ikan ini merupakan andalan utama mata pencarian penduduk yang ada diselingkaran Danau Singkarak, selain rasanya yang amat khas, gurih dan wangi Ikan ini juga menjadi andalan kenangan anda dengan memanjakan selera untuk mencicipi makanan yang ada di warung/restoran yang ada di pinggir pinggir danau Singkarak, tentunya juga ada paket untuk oleh oleh dari Ikan Bilih yang sudah kering.
Dilokasi Danau Singakarak banyak terdapat Homestay/Losmen dan juga beberapa buah Hotel Bintang 2 dan Melati, seperti Singkarak Beach Hotel, Hotel ini biasanya ramai digunakan oleh para wisatawan mancanegara maupun domestik, juga ditempat ini sangat nyaman untuk dilaksanakan kegiatan kegiatan seminar, pelatihan maupun untuk rehat. Disamping itu dilokasi danau Singakarak juga ada tempat bermain anak anak bagi anda yang membawa keluarga seperti di pantai Tanjung Mutiara, ada disediakan kapal kecil untuk berlayar ria di danau singkarak serta aneka permainan anak anak lainnya.
Memang secara sarana dan prasarana lainnya, diseputaran lingkungan Danau Singakarak masih banyak keterbatasan seperti akses penyediaan Cinderamata, WC Publik, atraksi budaya, kebersihan pantai danau dan sebagainya. Hal ini kiranya bisa menjadi perhatian dan perbaikan bagi pihak pihak yang bertanggungjawab/pengelola Objek Wisata danau Singkarak, baik pemerintah, pelaku usaha, masyarakat dan pengunjung objek wisata Danau Singkarak sendiri.
Tetapi yakinlah kunjungan anda ke Danau Singakarak tidak akan sia sia apalagi jika anda menikmati lika liku jalan dipinggir Danau Singakarak yang dikelilingi sawah sawah yang berjenjang hijau, pemandangan bukit yang bergelombang, bangunan rumah rumah bagonjong yang estetik serta sepoian angin danau yang menyejukkan.
Walau kunjungan anda sungguh mengasyikkan tetapi harap selalu menjaga keamanan dan keselamatan anda dalam berwisata, harap hati hati jika berenang dan jangan mendekati ke areal yang dilarang oleh pengelola. Sebelum berenang atau mandi dipinggir danau harap melapor dan memberitahu pihak pengelola/penjaga dan menanyakan apa saja yang boleh dan yang tidak boleh untuk anda lakukan.(ALANG BABEGA)

H. AGUS SALIM

Agus Salim

kh_agus_salim.jpg

The Grand Old Man

DALAM sebuah rapat Sarekat Islam (SI), Haji Agus Salim saling ejek dengan Muso, tokoh SI yang belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia. Pada awalnya Muso memulai ejekan itu ketika berada di podium.
“Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?”
“Kambing!” jawab hadirin.
“Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa?”
“Kucing!”
Agus Salim tahu dialah sasaran ejekan Muso. Agus Salim memang memelihara jenggot dan kumis. Begitu gilirannya berpidato tiba, dia tak mau kalah.
“Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?”
Hadirin berteriak riuh, “Anjing!”
Agus Salim tersenyum, puas, lalu melanjutkan pidatonya. Agus Salim memang dikenal singa podium. Dia juga lihai berdebat, sehingga jarang ada yang mau melayaninya.
Agus Salim punya nama asli Mashudul Haq yang berarti pembela kebenaran. Lahir di Kota Gedang, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884, dia menjadi anak keempat Sutan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena kedudukan ayahnya Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar, selain karena dia anak yang cerdas. Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman.
Pada 1903 dia lulus HBS (Hogere Burgerschool) atau sekolah menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Karena itu Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia patah arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara.
Sebuah cuplikan dari surat Kartini ke Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini:
“Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma F 150 sebulan” (Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1984, hlm 24).
Lalu, Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri bersekolah tinggi. Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim. Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus Salim menolak. Dia beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Salim tersinggung dengan sikap pemerintah yang diskriminatif. Apakah karena Kartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang memiliki hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh pemerintah sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa?
Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya, serta mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional.
Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.
Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI.
Karier politiknya sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.
Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, laki-laki di depan. “Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,” ujarnya.
Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.
Dengan badannya yang kecil, dikalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan julukan The Grand Old Man, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi.
Sebagai pribadi dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan, bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian. Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya, selama hidupnya Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. “Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda.
Agus Salim wafat pada 4 November 1954 dalam usia 70 tahun.*
Sumber : MESIASS

Jumat, 27 April 2012

Kajian Mendasar terhadap Sejarah PRRI


Oleh: Dr. Saafroedin Bahar (L, 71 th, kini sedang di San Ramon, California, USA – Staf Pengajar Prodi Ketahanan Nasional Sekolah Pasca Sarjana UGM)
Saya sangat senang memperhatikan bahwa akhir-akhir ini terdapat peningkatan minat secara terbuka terhadap sejarah pemberontakan PRRI, khususnya dalam kaitannya dengan sejarah daerah Sumatera Barat serta sejarah suku bangsa Minangkabau. Di Rantau Net ini demikian banyak postings dari para netters mengenai aspek-aspek tertentu PRRI, baik mengenai pengalaman pribadi dari beliau-beliau yang pernah ikut terlibat, maupun berbagai interpretasi dan rasionalisasi terhadap pemberontakan tersebut.. Dalam rangka peluncuran dua buah buku yang memuat himpunan tulisan wartawan Suwardi Idris tentang pengalaman beliau mengikuti PRRI di daerah Solok, beberapa waktu yang lalu bertempat di Studio TVRI Padang telah diadakan talkshow mengenai PRRI ini, yang diikuti oleh beberapa tokoh Sumatera Barat, antara lain budayawan senior Wiswan Hadi, wartawan senior Basril Djabbar, sejarawan Dr Gusti Asnan. Talkshow tersebut ditayangkan ulang di TVRI Pusat. Dari Ibu Warni Darwis, Wakil Sekjen Gebu Minang, saya mendapat khabar bahwa Bp Abdul Samad, seorang tokoh pejuang PDRI dari Bukittinggi, yang juga ikut pemberontakan PRRI, baru-baru ini tampil di TVRI Pusat menjelaskan pengalaman beliau dalam PRRI tersebut.
Saya menganggap peningkatan minat terhadap sejarah PRRI ini baik dan wajar. Memang sudah waktunya sejarah PRRI ini dibedah secara mendasar dan mendalam. Saya pernah mengkuti pembahasan masalah PRRI ini — sebagai pembicara bersama Kolonel Pur. Ventje Sumual — di kampus Universitas Indonesia, Depok, dan di The Habibie Center, Jakarta. Minggu lalu, di Apartemen #2724 Pomontory Circle di San Ramon, Cal, USA, saya berbincang-bincang semalam suntuk dengan Inyiak Sunguik Sjamsir Syarif yang telah menjalani hampir seluruh Sumatera Barat sewaktu mengikuti pemberontakan PRRI ini sebagai orang dekat dengan Bp Mohammad Natsir. Saya sungguh-sungguh mendorong beliau untuk menuliskan pengalaman beliau tersebut agar dapat dibaca oleh generasi demi generasi bangsa Indonesia pada umumnya dan suku bangsa Minangkabau pada khususnya.
Sungguh menarik untuk diperhatikan, bahwa walaupun cakupan aksinya pada taraf awal juga meliputi daerah-daerah Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, serta terkait erat dengan pemberontakan Permesta yang meliputi daerah Sulawesi Utara – namun memang hanya di daerah Sumatera Barat dan terhadap suku bangsa Minangkabau saja dampak kekalahan pemberontakanPRRI ini demikian mendalam. Tidak berkelebihan kiranya jika dikatakan bahwa walaupun pemberontakan PRRI terutama berkenaan dengan masalah politik, yaitu hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam rangka proses panjang integrasi nasional di Indonesia, namun masyarakat Minangkabau memandangnya lebih dari itu, yaitu dari perspektif sosio kultural, dengan akibat yang lebih parah, yaitu sampai patah semangat dan berlarut-larut sampai sekarang. . Saya tidak melihat dampak yang sama pada suku bangsa Batak atau suku bangsa Menado yang juga terlibat dalam pemberontakan yang sama.
Sekedar sebagai catatan dapat saya sampaikan bahwa gejala patah semangat berlarut-larut setelah kalah perang ini sama sekali bukanlah gejala baru. Seperti ditulis Kolonel KNIL Soegondo, komando tentara kolonial Hindia Belanda telah mencatat gejala yang sama sewaktu menghadapi Perang Paderi , 1821-1838. Dengan kata lain, gejala patah semangat secara berlarut setelah kalah perang itu adalah refleksi dari masalah kultural yang lebih mendasar. Dalam pengamatan saya secara pribadi, gejala patah semangat tersebut merupakan wujud dari kelemahan mendasar dari tatanan sosial Minangkabau, yang kelihatannya tidak dirancang untuk bersatu, tetapi untuk hidup dalam komunitas kecil-kecil yang saling curiga satu sama lain. Mungkin sekali, gejala patah semangat itu timbul karena tidak yakin akan dibela oleh sanak saudaranya yang lain. [Sangat mirip dengan tatanan sosial dan reaksi orang Arab setelah kalah perang]. Demikianlah, Inyiak Sunguik Syamsir Sjarief menjelaskan bahwa yang paling kejam terhadap PRRI bukanlah ‘tentara Soekarno’ tetapi justru urang awak yang jadi ‘tukang tunjuk’ dan yang menjadi anggota Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR). Saya tahu bahwa yang menjadi anggota OPR ini pada umumnya adalah para preman yang menjadi anggota Pemuda Rakyat, onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) yang digunakan oleh Kodam III/17 Agustus untuk menghadapi pemberontakan PRRI.
Sudah barang tentu secara pribadi saya merasa sangat tertarik untuk mendalami dimensi-dimensi sosio kultural, sosial politik, serta strategi dan taktik militer dari pemberontakan PRRI ini, bukan saja oleh karena saya ditakdirkan lahir dan menjadi dewasa sebagai seorang warga suku bangsa Minangkabau, tetapi juga oleh karena latar belakang pendidikan saya dalam ilmu pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan karena karir saya sebagai perwira TNI-Angkatan Darat, yang selama 16 tahun berturut-turut berdinas di daerah Kodam III/17 Agustus, yang mencakup daerah Sumatera Barat dan Riau (1960-1976). Dapat saya sampaikan bahwa saya menyaksikan dari dekat betapa besar perubahan yang dialami daerah Sumatera Barat antara suasana aman tentram sebelum pecahnya pemberontakan PRRI, yaitu pada tahun 1957 sewaktu saya pulang libur sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada, dan suasana pasca PRRI, antara tahun 1960-1976, sewaktu saya bertugas sebagai perwira staf Kodam III/17 Agustus di daerah Sumatera Barat dan Riau.
Demikianlah, untuk memenuhi rasa keingintahuan saya tersebut, selama sembilan tahun antara tahun 1987-1996 – di sela-sela kesibukan saya sebagai Tenaga Ahli Lemhannas ( 1983-1989) dan sebagai Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara (1989-1999) — saya mengadakan penelitian untuk menyusun disertasi mengenai pemberontakan PRRI ini dan mempertahankannya di depan Rapat Terbuka Senat Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 25 Agustus 1996, 12 tahun yang lalu. Sebagai saksi sejarah dan sebagai sebuah skrup kecil dalam operasi teritorial pada tahap pasca PRRI, saya sama sekali tidak mempunyai kesukaran dalam mengumpulkan fakta dan data sejarah pemberontakan PRRI serta penumpasannya. Yang jauh lebih sulit adalah mencari rujukan teori dan pendekatan ilmiah yang tepat untuk menjelaskannya. Mengingat demikian banyaknya aspek pemberontakan PRRI ini, adalah jelas bahwa jika kita benar-benar hendak memahami dan memperoleh eksplanasi terhadap pemberontakan PRRI ini, diperlukan suatu pendekatan yang bersifat holistik, bukan pendekatan yang sepotong-sepotong.
Suatu dimensi lain yang layak untuk kita dalami mengenai pemberontakan PRRI ini adalah dimensi hubungan internasionalnya, khususnya peranan Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat, yang telah diungkap secara amat jelas dalam buku Subversion as Foreign Policy oleh suami isteri George McTurnan Kahin dan Audrey Kahin. Saya percaya bahwa bahwa penggalangan intelijen oleh CIA ini – selain oleh karena kurangnya visi strategis oleh para tokoh KDMST — merupakan salah satu faktor penting pecahnya pemberontakan dan kekalahan PRRI ini. Sukar untuk dibantah, bahwa berbaliknya sikap Amerika Serikat dari mendukung PRRI menjadi mendukung Presiden Soekarno dan TNI juga merupakan faktor penting kekalahan PRRI, dengan segala akibat sosio kulturalnya pada warga suku bangsa Minangkabau..
Lagi pula jangan dilupakan suatu akibat tidak langsung dari pemberontakan PRRI ini, yaitu dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, lahirnya Demokrasi Terpimpin, serta berkembangnya PKI, yang kemudian berujung pada rencana kudeta Gerakan 30 September/PKI.
Dengan kata lain, pemberontakan PRRI memang layak didalami, bersisian dengan peristiwa-peristiwa besar nasional lainnya. Juga jangan dilupakan bahwaoleh karena terhadap rencana kudeta Gerakan 30 September/PKI saja sudah berkali-kali didakan seminar, lokakarya, atau sekedar pertemuan, tidak ada alasan mengapa terhadap pemberontakan PRRI ini tidak ada pengkajian serupa.
Hanya ada suatu catatan kecil yang perrlu saya sampaikan, yaitu kecenderungan para sanak kita di Sumatera Barat yang lazim mereduksi peristiwa-peristiwa sejarah nasional yang terjadi di Sumatera Barat menjadi sejarah Sumatera Barat belaka. Lebih kecil lagi, sebagai sekedar sejarah pribadi-pribadi belaka. Saya melihat gejala tersebut sewaktu mengikuti pembahasan tentang sejarah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Oleh karena itu, tidak bosan-bosannya saya mengingatkan bahwa PDRI adalah suatu institusi nasional dan sejarah PDRI adalah bagian dari sejarah nasional. Kali ini saya ingin mengingatkan para sanak semua, bahwa sejarah PRRI adalah bagian dari sejarah nasional, dan dengan merujuk pada buku suami isteri Kahin, sejarah PRRI adalah juga bagian dari sejarah internasional Perang Dingin antara Blok Amerika Serikat dengan Blok Uni Soviet.
Kalau begitu, sambil mendorong Inyiak Sunguik Sjamsir Sjarief dan para sanak lainnya untuk menulis pengalaman lapangan masing-masing sewaktu pemberontakan PRRI, apa tak perlu diselenggarakan suatu Seminar Internasional tentang Pemberontakan PRRI ? Bagaimana kalau kita dorong Dewan Perwakilan Daerah RI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) , Arsip Nasional RI, Departemen Pertahanan serta Markas Besar TNI-Angkatan Darat, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Lembaga Ketahanan Nasional, Pusat Sejarah TNI, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), tokoh-tokoh sejarah masyarakat Batak dan Menado, termasuk Kolonel Pur Ventje Sumual, dan tokoh senior sejarawan Prof Dr Taufik Abdullah , Prof Dr Salim Said, Prof. Dr RZ Leirissa, serta Dr Audrey Kahin untuk membahas pemberontakan PRRI ini secara holistik ?
Sumber: Milis Rantau Net

Jumat, 20 April 2012

9 Parpol di DPR Harus Diverifikasi

  Friday, 20 April 2012
JAKARTA– Sembilan parpol di DPR wajib menjalani verifikasi calon peserta Pemilu 2014 seperti parpol baru. Karena itu, Partai NasDem menggugat Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Pemilu yang tidak mengatur hal itu.

Pendaftaran permohonan uji materi Pasal 8 Ayat 1 UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin dilakukan tim khusus NasDem yang disebut Tim Delapan. Mereka terdiri atas para kuasa hukum yaitu Effendi Syahputra, Anton Febrianto, Muhammad Rullyandi, Sondang Tampubolon, M Zaimmul Umam, Adidharma Wicaksono, Tomson Situmeang, dan Janses E Sihaloho.

Menurut Effendi yang juga Ketua Badan Advokasi Hukum (Bahu) Partai NasDem,Pasal 8 Ayat 1 harus direvisi karena sangat diskriminatif dan tidak adil.Menurut dia,pasal ini bertentangan dengan Pasal 28 huruf d UUD 1945. “Karena melanggar konstitusi, tentu aturan soal verifikasi parpol ini harus direvisikan,”ujarnya.

Pasal 8 Ayat 1 UU Pemilu berbunyi: Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Pasal ini, kata Effendi, sangat jelas dibuat hanya untuk melindungi kepentingan dan eksistensi sembilan parpol yang kini memiliki kursi di DPR.

Dengan terbebas dari verifikasi, mereka aman dari kemungkinan digugurkan sebagai peserta pemilu meski ada kemungkinan jumlah kepengurusannya di tingkat daerah tak lagi memenuhi syarat. Dia menegaskan, pengajuan gugatan ini dilakukan bukan karena NasDem khawatir tidak memenuhi syarat verifikasi. Meski parpol baru, Nas- Dem sangat percaya diri menghadapi Pemilu 2014 karena telah memiliki kepengurusan yang lengkap dari pusat hingga tingkat kecamatan.

NasDem pun terus melakukan konsolidasi dan melakukan agenda kerja yang langsung bersentuhan dengan rakyat.“Kami sama sekali tidak bermasalah dengan aturan-aturan yang ada dalam UU Pemilu.Hanya satu pasal yang mengusik kami yaitu Pasal 8 Ayat 1.Itu pun karena menurut kami diskriminatif. Pemilu kan harus adil dan fairplay,”ungkap Effendi. Anggota Bahu NasDem Tomson Situmeang mengingatkan, syarat verifikasi parpol calon peserta pemilu kali ini lebih berat dibanding Pemilu 2009.

Karena itulah terbuka kemungkinan ada parpol di DPR yang sebenarnya tak lagi memenuhi syarat menjadi peserta Pemilu 2014 dari aspek jumlah dan eksistensi kepengurusan daerah. Pada Pemilu 2009 syarat jadi peserta pemilu adalah harus memiliki 2/3 atau 75% kepengurusan per daerah.Sedangkan syarat bagi parpol untuk menjadi peserta Pemilu 2014 adalah memiliki 100% kepengurusan di tingkat provinsi,75% di tingkat kabupaten/kota,dan 50% kecamatan di kabupaten/ kota yang didaftarkan.

“Inilah akal-akalan parpolparpol di DPR.Bila Pasal 8 Ayat 1 UU Pemilu direvisi, bisa saja ada parpol yang kini punya kursi di DPR tidak lolos menjadi peserta Pemilu 2014,” ucap Tomson. Dia menekankan, NasDem hanya ingin kompetisi Pemilu 2014 berjalan sportif sehingga kualitasnya tidak diragukan dari segala segi. Untuk menentukan kualitas, tentu dibutuhkan verifikasi.

Gugatan Berbeda

Tomson juga menegaskan bahwa permohonan uji materi yang dilakukan NasDem sebagai parpol baru berbeda dengan pengajuan uji materi yang didaftarkan 22 parpol kecil nonparlemen.Dia menjelaskan, parpol-parpol kecil nonparlemen yang diwakili kuasa hukum mereka, Yusril Ihza Mahendra, justru meminta agar mereka juga dibebaskan dari verifikasi karena sudah pernah lolos sebagai peserta Pemilu 2009. “Setelah bertemu Pak Yusril, ada perbedaan kepentingan untuk melakukan gugatan secara bersamasama.

Kami ingin verifikasi dilakukan terhadap semua parpol calon peserta pemilu, sedangkan mereka ingin langsung diloloskan,”paparnya. Sebanyak 22 parpol nonparlemen kemarin juga mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Pasal 208 yang mengatur parliamentary threshold (PT) 3,5% berlaku secara nasional serta Pasal 8 Ayat 1 dan 2 UU Pemilu. Parpol-parpol penggugat antara lain PBN, Partai Merdeka, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Pelopor, Partai Buruh,Partai Republikan, PKNU,PKPB,Partai Demokrasi Pembaharuan,Partai Matahari Bangsa,Partai Bulan Bintang, Partai Kedaulatan, Partai Patriot, PDS, PKPI, PPPI,dan PPDI.

Kuasa hukum mereka,Yusril Ihza Mahendra, menerangkan, kewajiban verifikasi terhadap parpol-parpol yang gagal masuk parlemen pada Pemilu 2009 justru diskriminatif, menghalangi hak konstitusional, serta menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut dia,angka PT 3,5% yang lebih besar dibanding angka PT pada Pemilu 2009 yaitu 2,5% berpotensi menghilangkan kedaulatan dan keterwakilan politik rakyat.Terlebih bila diberlakukan secara nasional.

Padahal, kata dia, MK dalam putusan Nomor 3/PUUVII/ 2009 sudah memberi catatan bahwa penentuan angka PT tidak boleh bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat,dan rasionalitas. “Meski permohonan tentang PT sudah pernah ditolak MK, kini kondisinya berbeda. Sudah ada pengalaman empiris mengenai penerapan pasal ini. Ketentuan ini bisa mengakibatkan banyak parpol kehilangan kursinya di tingkat DPRD dan DPR.

Akibatnya,banyaknya entitas dan komunitas lokal tidak terwadahi dan terwakili di parlemen,”paparnya. Kedua pasal yang diujikan, kata Yusril, akan dihadapkan dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan Pasal 28 d menyangkut kepastian hukum dan keadilan di muka hukum dan pemerintahan. Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan menyatakan bahwa parpol yang kini ada di DPR untung dua kali, sedangkan parpol kecil rugi dua kali.

“Yang untung dua kali merasakan kursi di parlemen dan bisa langsung ikut Pemilu 2014. Yang rugi dua kali tidak dapat kursi di DPR dan tidak bisa ikut Pemilu 2014,” ungkap salah satu Ketua Ormas Nasional Demokrat ini. Ketua Pansus RUU Pemilu Arif Wibowo mendukung gugatan UU Pemilu ke MK.Menurut dia, dalam pembahasan, PDIP dan Partai Golkar menyetujui verifikasi sebagai calon peserta pemilu diberlakukan terhadap seluruh parpol tanpa terkecuali.Namun, Partai Gerindra, Partai Hanura,dan Partai Demokrat tidak menyetujui itu.

“Mereka merasa tidak yakin lolos jika mengikuti verifikasi,” tudingnya. Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Saan Mustopa mengatakan, kurang pas jika ada kalangan dari DPR justru mendorong dan mendukung uji materi UU Pemilu di MK. “Seharusnya yang dilakukan oleh DPR adalah mempertahankannya dengan argumentasi- argumentasi yang kuat dan rasional. Bukan malah mendukung uji materi itu,”katanya.

Dia melanjutkan, yang harus dilakukan DPR sekarang adalah menyiapkan argumentasi kuat untuk menghadapi pihak- pihak yang mengajukan uji materi UU Pemilu. Dia memandang, UU Pemilu yang sudah disahkan ini hasil maksimal yang sudah dilakukan DPR. nurul adriyana/ mn latief/nurul huda/ robbi khadafi/radi saputro/ meiskhe fratel
 

Selasa, 17 April 2012

GEMPAR SOEKARNO PUTRA (Bagian-III/Habis)


Gempar, Pengakuan Satrio Piningit

Oleh: (Y.CHANDRA MUAS)
2002-04-02 10:50:52
(Pada Bagian-II Gempar mengisahkan perjalanan hidupnya di saat remaja yang penuh kegetiran. Walau begitu ia mengukir prestasi yang cukup gemilang. Nasib malang masih mengikuti Gempar sampai ke Jakarta.Di ibukota berbagai perlakuan kejam dialaminya. Namun semua ini membuatnya tumbuh menjadi lebih tegar. Bahkan ia meraih berbagai kesuksesan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.)
Di pagi hari Februari 1978, Gempar menapakkan kakinya di Pelabuhan Bitung. Cuaca tenang, panas pun tidak begitu menyengat. “Saya harus tetap ke Jakarta untuk merubah nasib,”tekad Gempar yang hanya berbekal uang Rp 25 ribu, sementara harga tiket kapal ke Jakarta Rp 75 ribu. Di pelabuhan kapal Pelni yang akan ditumpanginya sedang memuat barang. Waktu itu, kapal untuk penumpang, disatukan dengan barang.
Saat petugas lengah Gempar berhasil menyelinap naik kapal, dengan berpura-pura sebagai anak buah kapal (ABK). Satu setel pakaian yang terbungkus kantong plastik, diselipkannya di pinggang celana bagian belakang. Sedang ijazah sebagai modal utama merantau disimpannya dalam sepotong buluh (bambu) kecil, agar tidak rusak.
Pukul 14.00 sirine kapal berbunyi, menandakan kapal segera meninggalkan dermaga. “Hati saya bergetar, airmata saya sempat jatuh, entahlah saya akan selamat di perjalanan. Terbayang wajah Mami (panggilan Gempar untuk ibunya-Red), Opa, juga Oma saya di kampung. Ketika kapal bergerak perlahan meninggalkan dermaga, dari atas geladak, saya saksikan pengantar melambaikan tangan kepada sanak saudaranya yang ada di kapal. Saya pun melambaikan tangan. Tapi tidak tahu lambaian itu saya tujukan pada siapa, karena memang tidak ada yang mengantar kepergian saya. Hati saya cuma berucap, selamat tinggal Manado,” papar Gempar.

Tak lama kemudian lewat pengeras suara diumumkan akan ada pemeriksaan tiket. “Jantung saya langsung berdebar, karena menurut cerita orang-orang, penumpang gelap yang tertangkap di kapal, akan dilempar ke laut lepas oleh ABK,” ujar Gempar.
Ia langsung bersembunyi di sebuah celah yang terletak persis di sisi cerobong asap, posisi yang telah ditandainya sejak siang hari. Begitu petugas pemeriksa datang, Gempar langsung menyelinap ke celah tadi.
“Panasnya luar biasa. Andaikan lebih dari sepuluh menit saya berada di tempat itu, saya pasti mati. Entah kenapa, begitu petugas sampai di tempat persembunyian saya, tiba-tiba hujan turun deras sekali, petugas itu pun pergi. Kemudian dalam keadaan basah kuyup saya turun ke bawah. Saat itulah saya tertangkap oleh seorang ABK. Saya katakan sejujurnya kesulitan saya. Mereka pun akhirnya iba dan memperbolehkan saya menumpang dengan syarat saya membantu berbagai pekerjaan di kapal.  Setelah di kapal ,saya baru tahu kapal yang saya tumpangi tujuan akhirnya Surabaya,” kata Gempar.
Setiba di Surabaya Gempar menyambung perjalanan ke Jakarta dengan naik kereta ekonomi dari Stasiun Pasar Semut Lagi-lagi ia menjadi penumpang gelap dengan bersembunyi di gerbong berisi ternak sapi dan kambing. Keesokkan paginya, Gempar tiba di Stasiun Gambir.
“Saya tercengang menyaksikan Tugu Monas yang menjulang tinggi tidak jauh dari stasiun. Saya sarapan pagi bubur ayam di lapangan Monas. Selanjutnya dari sana dengan naik bis saya menuju ke rumah adik kandung ibu saya, Boy Langelo,yang tinggal di Jalan Gandaria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ” tutur Gempar.
KE DUNIA TEATER
Sampai di sana, Boy Langelo kebetulan sedang ada di rumah, karena waktu itu hari libur. “Sambutan Om saya cukup bagus. Sedang isterinya menampakkan wajah tidak suka. Saya ditempatkan di sebuah kamar kecil dan pengap. Beberapa hari di sana, satu persatu dari tiga orang pembantunya mulai diberhentikan. Sebagai orang yang hidup menumpang, di sana saya tahu diri. Saya kerjakan berbagai pekerjaan yang bisa saya lakukan. Namun, karena tidak disukai orang, lama-lama saya tidak betah juga,” papar Gempar.
Kemudian Gempar melamar masuk AKABRI yang pendaftarannya di Kodam Jaya, Cililitan. Semua testing berhasil dia lalui dengan baik. Namun saat test terakhir Pantukhir yang memaksanya berjalan sambil berjongkok, Gempar menolak.
“Saya dibentak karena tidak patuh. Saya bilang, ini bukan zaman feodal.Mereka harus memperlakukan orang dengan wajar. Mungkin karena itu, saya tidak lulus,” ujar Gempar.
Untungnya, saat mendaftar masuk AKABRI, ia berkenalan dengan Dolvi Lomboan seorang bintara remaja Angkatan Udara asal Sulawesi Utara. Mendengar keluhan Gempar, Dolvi lantas mengajaknya tinggal di asrama di Komplek Angkatan Udara Halim Perdanakusumah.
Gempar kemudian keluar dari rumah pamannya. Biaya hidupnya sehari-hari banyak dibantu Dolvi . Ketika Dolvi lulus masuk AKABRI dan harus berangkat ke Magelang, Gempar pun bingung harus tinggal di mana. Untungnya ia masih menyimpan sebuah alamat saudara ibunya, Cherry Pangalila, seorang artis tahun ’80-an yang populer dengan sebutan Cherry Ivone tinggal di Jalan Kebun Kacang ,Jakarta Pusat.
Di rumah Cherry yang ketika masa itu hidup menjanda, lagi-lagi memperlakukan Gempar sebagai pembantu, karena kebetulan ketika Gempar datang, pembantunya berhenti. Mulai dari belanja ke pasar, mencuci, menyetrika pakaian hingga membersihkan rumah, dikerjakannya .” Lagi-lagi saya berfikir, hidup kok! dari  kecil jadi pembantu terus,” keluh Gempar.
Waktu itu Cherry sering ke Taman Ismail Marzuki, tempat berkumpulnya para artis. Diam-diam Gempar pun sering datang ke sana. Di sanalah lewat Dana Christina, seorang artis, Gempar berkenalan dengan Teguh Karya. Sutradara kondang ini kemudian memberi kesempatan pada Gempar menjadi figuran dalam film “Darah Daging” dan “Pengemis dan Tukang Becak”.
Dunia artis ternyata kurang pas bagi Gempar, sehingga ia mengundurkan diri. Suatu hari, tanpa sebab yang jelas, mungkin karena Gempar lalai dengan tugas sehari-hari di rumah, Cherry mengusirnya.” Pakaian saya dibuang ke bak sampah di depan rumah. Pintu pagar pun digembok. Saya tidak boleh masuk.
Dalam keadaan hujan lebat sore itu, saya bingung harus ke mana. Akhirnya saya naik bis menuju rumah Om Boy Langelo. Ternyata paman sekeluarga sudah pindah. Rumah itu kosong. Saat itulah saya ditegur Pak Anwar, tukang buah yang berjualan persis di samping pintu masuk rumah paman saya.”
Tukang buah itu menawari Gempar untuk tinggal di rumahnya, tepat di pinggiran Sungai Gandaria, yang membelah Kebayoran ,Jakarta Selatan. Seminggu tinggal dengan keluarga Anwar, Gempar ikut pedagang buah itu berbelanja ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Ketika Anwar diperlakukan kasar oleh para preman pasar, spontan emosi Gempar meluap. Gempar pun langsung dikeroyok.
“Saya tidak tahu, berapa orang yang saya lawan, yang jelas, saya berhasil merampas salah satu golok mereka dan nyaris menghabisi salah seorang.diantara mereka. Sejak itulah, mereka menganggap saya jagoan. Setiap kali saya datang, mereka memberi uang upeti atau setoran. Lama-lama uang dari hasil begitu bertentangan dengan hati nurani saya, sehingga pekerjaan itu saya tinggalkan dan saya tidak pernah muncul lagi di pasar” ujar Gempar.
MERENTAS JALAN POLITIK
Suatu hari Gempar memberanikan diri melamar pekerjaan di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan di Jl Gandaria Tengah, Kebayoran Baru.  “Karena sama-sama orang Manado, saya langsung menghadap Om Alex. Saya mohon bantuannya untuk mempekerjakan saya sebagai apa saja .Jadi tukang sapu pun tak apa. Akhirnya saya diterima sebagai juru ketik. Gajinya lumayan, bisa untuk hidup  mandiri dan menyewa sebuah kamar di kawasan Radio Dalam, dekat tempat saya bekerja,” kata Gempar.
Tahun 1985, Gempar direkomendir oleh Notaris Alex untuk kuliah. Tanpa hambatan, ia berhasil masuk Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kuliah yang berlangsung dari sore hingga malam ini, kebanyakkan mahasiswanya telah bekerja.
Di Kampus, Gempar cukup dikenal. Selain berwajah mirip Soekarno, sebagaimana sering diolok-olok temannya, ia pun supel dan pandai bergaul. Terbukti, mulai dari Satpam di Fakultas Hukum sampai para dosen senior, kenal padanya. Di samping itu, Gempar pernah menjadi Ketua Senat Ekstensi dan aktif dalam pergerakan mahasiswa lainnya.
Sayang, karena dia kuliah sambil bekerja, membuat masa kuliahnya cukup lama.Ia pun masih sempat memotori pergerakan mahasiswa UI bersama mahasiswa dari universitas lainnya saat aksi Reformasi tahun 1998 berdemontrasi ke Gedung DPR / MPR.
“Sebagai aktivis, waktu itu saya nyaris diculik. Mobil saya sempat dibayang-bayangi orang selama berhari-hari. Bahkan aktivitas sayapun selalu dibuntuti orang yang tidak dikenal,” ungkap Gempar.
Saat itulah namanya mulai muncul. Berbagai koran dan media terkemuka ibukota sering menampilkan sosoknya. Bahkan ia acap pula berorasi di berbagai forum bersama para tokoh terkenal. Di antaranya Rendra, Almarhum Dono Warkop (dosen Fisip UI), Hariman Siregar, Hariadi Darmawan, Roh Basuki dan Adnan Buyung Nasution .
RAHASIA DIBUKA
Menggali ilmu hukum di kampus diiringi praktek karja lapangan sesuai tugasnya di kantor notaris, membuat Gempar begitu matang dalam bidang hukum. Tidak saja di bidang kenotariatan, tetapi juga di bidang kepengacaraan. Terbukti, tahun 1985, walau belum bergelar Sarjana Hukum, dia sudah ditarik sebagai Legal Manager oleh PT. Toshiba Indonesia.
Selanjutnya meningkat sebagai Kuasa Direktur di PT Gemini Electrik Hitachi. Ia kemudian diangkat pula sebagai Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia, sekaligus sebagai Legal Konsultan pada Hitachi, Toshiba, ITT, Grundig dan beberapa perusahaan lainnya. Tidak hanya itu, ia dipercaya pula sebagai penasehat hukum di TMS Bank dan Tifa Bank.
Sejak dipercaya sebagai konsultan hukum inilah, kehidupan Gempar berubah seratus persen, ibarat siang dan malam. Kini selain punya beberapa rumah di Jakarta, ia pun punya dua mobil yang cukup berkelas, Mercedes Benz dan Hyundai tahun terakhir.
Seringnya Gempar muncul di berbagai televisi saat pelengseran rezim Orde Baru tempo hari, membuat ibunya yang menonton acara tersebut di Manado ketar ketir. Spontan, di penghujung tahun 1998, ibunya menyuruh Gempar pulang ke Manado. Karena kesibukan kerja, Gempar baru bisa pulang, Februari 1999. Begitu masuk ke rumahnya, Gempar terkejut, menyaksikan foto-foto Bung Karno dan ibunya terpajang di ruang tamu. “Ada apa ini ?” tanya Gempar. Sang ibu diam saja, bahkan menoleh pun tidak.
Pertanyaan itu dilontarkan Gempar hampir 3 kali. Ibunya tetap bungkam. Hingga akhirnya habis makan malam, sang ibu memanggil anaknya ke beranda depan. Di sanalah ibunya langsung bicara: “Kamu adalah anak Bung Karno.”
Spontan Gempar mencubiti tangan, pipi dan bagian lain badannya untuk memastikan ia dalam keadaan sadar, tidak bermimpi.” Saya goyang-goyang tubuh Mami, memastikan Mami dalam keadaan sadar,” ungkap Gempar. “Mami sadar,” ujar ibunya sambil membuka dokumen asli pernikahannya dengan Bung Karno yang disimpannya dalam sebuah kopor besi selama puluhan tahun.
Peristiwa ini membuat Gempar tak bisa tidur semalaman. Pikirannya menerawang, “Apakah benar saya anak Bung Karno ?” tanyanya. Sejak itulah ia menelusuri kebenaran nya dengan bertanya kepada orang-orang tua di sekitar tempat tinggal keluarganya di Manado. Hampir semuanya membenarkan. Ketika dia tanya kepada ibunya kenapa tidak diberi tahu dari dulu ?
Sang ibu menjawab, “Kalau Mami buka cerita ini sejak dulu, apakah kamu akan berumur panjang ? Amanat Bapakmu, anak siapa kamu sebenarnya, akan diberitahu, kalau kamu sudah berumur 40 tahun atau kamu sudah matang dalam politik. Kinilah saatnya hal ini Mami buka,” ujar sang ibu  sambil membuka selembar surat dengan tulisan tangan Bung Karno, yang memberi nama anaknya: Muhammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra.
Sepulangnya ke Jakarta, Gempar langsung ke makam ayahnya di Blitar, Jawa Timur. Seperti mendapat bimbingan batin, dari Blitar, Gempar Ke Yogyakarta, tepatnya ke pemakaman para Sultan di Imogiri. Di sinilah dia mendengar bisikan gaib yang dia sendiri tidak tahu sumbernya dari mana, membuat dia begitu merinding. “Sebagai Satrio Piningit, kamu harus berlaku adil terhadap rakyat,” tutur Gempar mengingat peristiwa itu.
Atas bimbingan seorang kiyai, di sanalah Gempar mengucapkan dua kalimah syahadat, yang artinya, dia resmi memeluk agama Islam. Hal itu segera dia laporkan pada ibunya di Manado. “Mami ikhlas dan merestui saya jadi Muslim. Bahkan menasehati, agar saya menjadi Muslim yang baik, sebagaimana amanat Bapak,” ucap Gempar.
Sumber: www.kartini-online.com

Demo buruh tolak kenaikkan harga bbm

Sabtu, 14 April 2012

Sarasehan anak negeri-menyelamatkan negeri autopilot



Presiden SBY Akan Bertemu Presiden Kazakhstan Bahas Kerjasama Investasi


Dhurandhara HKP - detikNews
Jumat, 13/04/2012 Jakarta Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev akan berkunjung ke Indonesia dan dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden SBY di Istana Negara sore nanti. Pertemuan dua kepala negara ini akan membicarakan kerjasama investasi.

"Presiden (Kazakhstan) sudah tiba di Tanah Air tadi malam. Akan diterima oleh Presiden RI di Istana Negara pukul 15.00 WIB," ujar Menteri Luar Negeri MArty Natalegawa di Gedung Pancasila Kemlu Jl Pejambon, Jakarta, Jumat (13/4/2012).

Marty mengatakan kunjungan tersebut adalah untuk kedua kalinya Presiden Kazakhstan ke Indonesia setelah tahun 1995. Presiden Kazakhstan dan Presiden RI akan memaparkan peluang investasi kerjasama kedua negara.

"Tema besar kunjungan ini untuk memaparkan peluang karena jelas banyak terbentang luas potensi perdagangan terutama investasi kedua negara. Kazakhstan ini negara luas, secara geografis seluas Eropa Barat, namun penduduknya relatif kecil hanya 15 juta jiwa," imbuhnya.

Menurut Marty Kazakhstan adalah negara yang kaya akan minyak. Di lain sisi, menurut Marty, Kazahkstan membutuhkan kelapa sawit.

"Jadi ini salah satu bentuk kerjasama yang kita bayangkan, kelapa sawit digabungkan dengan minyak bumi. Sementara kerjasama non government, di investasi ban kalau tidak salah, dan investasi kendaraan dan lainnya. Selain itu juga ada pembahasan regional, saat ini Kazakhstan juga sebagai ketua OKI, pada tingkat kementerian luar negeri, Kazakhstan tentu menampilkan sosok OKI di Indonesia, dengan Islamnya yang moderat dan menjunjung tinggi dialog antar agama," tutupnya.

(mpr/nrl)

Kamis, 12 April 2012

Partai NasDem Berpeluang Usung JK

Polhukam / Kamis, 12 April 2012 12:49 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Politikus Golkar Jusuf Kalla merupakan tokoh yang paling berpeluang untuk tetap maju sebagai calon presiden walau tidak dicalonkan partainya sendiri. Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan JK, panggilan Jusuf Kalla, berpeluang dicalonkan partai lain seperti Partai NasDem.

"Mungkin saja (dicalonkan melalui partai lain). Yang paling mungkin menggaetnya (Partai) NasDem," kata Burhan kepada Mediaindonesia.com, Jakarta, Kamis (12/4).
Melihat oligarki yang berkembang, kata Burhan, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie akan dipaksakan untuk maju sebagai capres dari internal.

"Apalagi Ical terpilih sebagai ketua umum tanpa dukungan dari JK. Bisa jadi JK tidak mendapatkan tempat menjadi capres dari partainya sendiri," ujar peneliti senior Lembaga Survei Indonesia tersebut.

Namun, pencalonan presiden akan bergantung dari hasil akhir presidential threshold yang tertuang dalam UU Pemilu. "Kalau sampai 20 persen tentu akan membuat pilihan capres makin kecil karena berat (syaratnya)," ujarnya.

Sebaliknya, jika kecil, pilihan calon presiden akan lebih variatif bagi masyarakat. "Kalau kecil, kemungkinan akan muncul banyak calon, termasuk JK yang dicalonkan melalui partai lain," kata Burhan.

Burhan menambahkan Partai NasDem telah menjelma sebagai pesaing Golkar saat ini, terutama di wilayah Sumatra bagian utara. "Yang pasti di Sumatra bagian utara (Aceh, Sumut, Sumbar), Golkar punya pesaing baru, yaitu Partai Nasdem. Bahkan, suara Sumatra Barat itu sudah jadi Partai Nasdem," kata Burhan. (MI/ICH)

Indonesia's tsunami



Rabu, 11 April 2012

Pengamanan Khusus Papua Dinilai Bukan Solusi


 Selasa, 10 April 2012
JAKARTA -- Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seperti disampaikan melalui Juru Bicara Julian Aldrin Pasha, Senin (9/4), yang akan mengeluarkan kebijakan pengamanan khusus untuk Papua pascapenembakan pesawat Trigana Air jenis PK-YRV di Bandar Udara Mulia, semakin membuktikan minimnya itikad baik pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua melalui jalan damai.


Hal itu ditegaskan Koordinator Kontras Haris Azhar, Selasa (10/4), di Jakarta. "Kami khawatir kebijakan ini akan menjadi pintu masuk untuk menambah jumlah pasukan keamanan (TNI dan Polri) ke Papua sehingga potensi kekerasan dan pelanggaran HAM akan terus bertambah," katanya.

Ia menambahkan, opsi pendekatan keamanan masih menjadi pilihan utama dari pemerintah untuk Papua.  Sebaliknya, gagasan, ide ataupun wacana menyelesaikan persoalan Papua melalui jalan damai (dialog) yang pernah disampaikan terdahulu, semakin jauh dari kenyataan.

"Pemerintah, khususnya presiden harus memiliki standar dan ukuran yang ketat untuk menafsirkan situasi yang terjadi di Papua," katanya.

Ia menambahkan, Presiden jangan terlalu mudah mengambil kebijakan keamanan, apalagi hanya didasarkan pada satu peristiwa.  Kebijakan model ini akan menjadi preseden buruk dalam peristiwa serupa yang mungkin terjadi berikutnya.

"Maka dapat kita bayangkan seperti apa situasi di Papua jika setiap peristiwa direspon dengan pendekatan dan penambahan aktor keamanan," ungkap dia.

Dikatakan, sejauh ini tidak pernah dilakukan evaluasi terhadap manfaat dan efektifitas gelar pasukan keamanan di Papua. Dan menurutnya, jika melihat kondisi akhir – akhir ini, ternyata pendekatan keamanan terbukti tidak efektif untuk meredam bertambahnya angka kekerasan, justru tidak jarang aktor keamanan menjadi kontributor kekerasan.

"Mestinya hal ini menjadi catatan pemerintah, sehingga tidak selalu salah dalam memilih dan menentukan kebijakan yang akan diambil," sebutnya.

Berangkat dari persoalan tersebut di atas, serta berkaca dari stagnasi perubahan di Papua, Kontras mendesak agar presiden membatalkan rencana kebijakan pengamanan khusus terhadap Papua.

"Energi presiden mestinya dapat dialihkan untuk memastikan agar peristiwa penembakan pesawat Trigana Air jenis PK-YRV dapat diselidiki dan diusut secara optimal, transparan dan akuntabel sehingga tidak menambah daftar panjang kasus penembakan misterius di Papua."

Selanjutnya, kata dia, presiden harus terbuka terhadap seluruh masukan di luar Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Setidaknya Komnas HAM dan tokoh gereja di Papua dan suara masyarakat sipil juga harus dipertimbangkan.

"Sehingga warna dan arah kebijakan untuk merespon setiap perkembangan situasi di Papua tidak melulu merujuk pada pendekatan keamanan yang terbukti tidak efektif," katanya. (boy/jpnn)

Senin, 09 April 2012

Detik-detik Menjelang Kematian Bung Karno

teguh santosa

PENASARAN ingin mengetahui kondisi Bung Karno selama berada dalam tahanan Orde Baru? Bagaimana keadaan Bung Karno menjelang ajal menjemput nyawa? Untuk menjawab rasa penasaran banyak orang itu, Rachmawati Soekarnoputri membongkar sejumlah dokumen tentang kesehatan Bung Karno, siang ini (11 Mei 2006) di kantor Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS), di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Dokumen-dokumen berusia 36 tahun itu menggambarkan kondisi kesehatan Bung Karno, terutama setelah dia tidak lagi menjadi presiden. Juga menggambarkan perlakuan penguasa ketika itu terhadap Bung Karno.
***
Memasuki pertengahan Agustus 1965 kesehatan Bung Karno drop drastis. Pada 4 Agustus ia terjatuh dan collapse di kamarnya di Istana Merdeka, Jakarta. Sejumlah kabar menyebutkan, Bung Karno terjatuh karena serangan stroke. Dia sempat dibawa ke Istana Bogor untuk mendapat perawatan intensif.
Peristiwa Bung Karno collapse sempat melahirkan berbagai rumor yang sulit dikonfirmasi. Sempat pula berkembang spekulasi yang mengatakan bahwa Bung Karno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965.
Kesehatan Bung Karno yang memburuk ini pula yang ikut memperpanas konstelasi politik nasional saat itu. Suhu politik dan persaingan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelumnya sempat mengusulkan ide angkatan kelima dengan TNI Angkatan Darat semakin panas.
Kehadiran tim dokter dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang membantu pengobatan Bung Karno juga mempertajam konflik di antara PKI dan AD. Sebab RRT dianggap sebagai sponsor utama ide angkatan kelima yang bikin resah itu.
Di tengah suhu politik yang semakin panas, Bung Karno kembali muncul pada peringatan detik-detik proklamasi ke-20 di Istana Merdeka. Dia hadir lengkap dengan pakaian kebesaran dan tongkat komando yang seakan tak pernah lepas dari genggaman.
Singkat cerita, Maret 1967 Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden. Sejak itu Bung Karno dikucilkan dan dilarang menginjakkan kaki di Jakarta. Maret 1968, Soeharto dilantik sebagai presiden. Menyusul pelantikan itu, di awal April 1968, Bung Karno angkat kaki meninggalkan Istana Bogor.
Dari istana yang berseberangan dengan Kebun Raya Bogor, Bung Karno pindah ke Batu Tulis. Tetapi udara Bogor yang dingin kala itu amat mengganggu kesehatannya yang tak kunjung membaik. Rematik Bung Karno semakin parah dan menyerangnya bertubi-tubi setiap hari. Di saat sakit yang semakin tak tertahankan, Bung Karno mengutus Rachma ke Jakarta, menyampaikan surat permohonan kepada Soeharto agar dia diperbolehkan kembali ke Jakarta.
Beberapa bulan kemudian, Bung Karno kembali menginjakkan kaki di Jakarta, tepatnya di Wisma Yasso, Jalan Jenderal Gatot Subroto. Di Wisma Yasso, rumah Dewi Soekarno yang kini menjadi Museum Satria Mandala itu, Bung Karno dijaga ekstra ketat siang dan malam.
“Ada satu periode dimana kami, anak-anaknya, tak boleh bertemu dengan beliau. Begitu juga dengan kerabat keluarga yang lain. Tetapi ada satu periode dimana saya bisa menjenguk Bapak tiga hingga empat kali dalam seminggu,” kenang Rachma.
Tanggal 6 Juni 1970, bertepatan dengan hari ulang tahun Bung Karno yang ke-69, Rachma dan Guruh menjenguk Bung Karno di Wisma Yasso. Rachma masih ingat, saat itu Bung Karno tengah berbaring di sofa. Sekujur tubuhnya bengkak. Suaranya sudah tak jelas lagi. Begitu juga dengan pandangan matanya.
“Sakit ginjal yang diderita Bapak tak pernah diobati secara layak,” ujar Rachma lagi. Dalam kunjungan itu, Rachma memotret Bung Karno. Foto itu kemudian diberikan Rachma kepada seorang jurnalis kenalannya. Foto itu pula yang akhirnya membuat Rachma mesti berurusan dengan Corps Polisi Militer (CPM).
“Mengapa saya tak boleh memotret BK. Memang status BK apa,” tanya Rachma ketika diinterogasi.
Dengan ringan si pejabat CPM menjawab: Bung Karno adalah tahanan.
“Setelah bertahun-tahun, itu adalah pengakuan pertama dari mulut mereka,” masih ujar Rachma.
Beberapa hari setelah kunjungan Rachma itu, Bung Karno dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Kesehatannya semakin memburuk.
Tanggal 21 Juni 1970, sekitar pukul 04.30 WIB, pihak RSPAD menghubungi Rachma. Dia diminta segera ke RSPAD menemui Bung Karno. Sekitar pukul 07.00 WIB, Rachma dan saudara-saudaranya dipersilakan memasuki ruang rawat Bung Karno. Alat bantu pernafasan dan jarum infus telah dilepas. Bung Karno tergolek lemah. Matanya tertutup rapat, nafasnya satu-satu. Tak lama, malaikat maut menjemput sang proklamator itu.
(Dimuat pertama kali di Rakyat Merdeka, 12 Mei 2006 dengan judul “Sebelum Jarum Infus Bung Karno Dilepas”. Foto diambil di kediaman Rachmawati, sehari sebelum dokumen-dokumen tersebut dibuka untuk publik.)

Mengapa Bung Karno Tak Mau Memukul Soeharto

teguh santosa

TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.
Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.
Note: Foto pinjam dari TIME
Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi. Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.
Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKo” yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.
Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.
Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira), “Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”
“Tetapi itu bukan pengawalan,” kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi, Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada di dalam tim itu.
Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana keberadaannya.
Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno menggelengkan kepala, melarang.
Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia menghadapi Soeharto.
“Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan darah, dan perang saudara.”
Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.
Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan sampai berkembang lebih jauh. “Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri. Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,” kata Achadi.
Adapun Achadi yang tak bisa kembali ke rumahnya di kawasan Pancoran yang sedang diduduki pasukan Soeharto diperintahkan Bung Karno bermalam di guest house Istana. Bung Karno juga mengatakan akan menggelar rapat kabinet keesokan harinya. Dalam rapat yang juga akan dihadiri Soeharto itu, Achadi diminta untuk menyampaikan laporan tentang penahanan beberapa menteri.
“Kamu berani bicara di depan Soeharto,” tanya Bung Karno pada Achadi.
“Siap,” jawab Achadi.

MALAYSIA DIMATA SOEKARNO



Sabtu, 07 April 2012

Soal PKS, SBY Gadaikan Hak Prerogatif?

Oleh: R Ferdian Andi R
Nasional - Sabtu, 7 April 2012 | 07:01 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Tepat sepekan hiruk pikuk soal posisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di koalisi mencuat ke publik. Partai Demokrat dan partai koalisi beramai-ramai mendesak PKS didepak dari koalisi. Upaya menggergaji hak prerogatif presiden?
Salah satu pengurus DPP PKS dengan nada berseloroh berkirim pesan Blackberry kepada INILAH.COM, Jumat (6/4/2012) ihwal hiruk-pikuk yang mengemuka belakangan. Menurut dia, posisi PKS saat ini sangat tergantung dengan sikap Presiden SBY.
"Tapi Pak SBY lagi sakit gigi, belum bisa ngomong," tulis pengurus DPP PKS yang enggan disebutkan namanya itu. Jelas itu nada sindiran yang ditujukan kepada Ketua Setgab Koalisi yang notabene Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bola kini persis di depan SBY sebagai Presiden dalam konteks sistem presidensiil. Mereposisi menteri yang didukung oleh PKS jelas merupakan praktik ketatanegaraan. Karena satu-satunya yang memiliki peran menggeser atau mengganti menteri di kabinet sebagaimana diatur dalam konstitusi tak lain adalah Presiden.
Namun secara telanjang, aktivitas politik Presiden SBY yang notabene Ketua Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi dengan mengundang pimpinan partai koalisi minus PKS tak lain merupakan upaya pembonsaian hak yang dimiliki oleh Presiden yakni hak prerogatif yang diatur secara jelas dalam konstitusi.
Karena dalam pertemuan tersebut berisi kesepakatan untuk mendepak PKS dari koalisi. Lebih dari itu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie diberi mandat untuk mengumumkan pendepakan PKS dari koalisi. "Pak Ical diberi mandat Pak SBY untuk itu," ujar sumber INILAH.COM yang juga pimpinan partai koalisi.
Persoalannya, apakah pendepakan PKS dari koalisi dapat diartikan dengan pencopotan menteri yang didukung PKS seperti Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suwono, dan Menteri Sosial Salim Jufri Assegaf? Itu yang tidak jelas hingga kini.
Pengamat hukum tata negara Irman Putra Sidin menilai tidak ada korelasi antara pendepakan PKS dari koalisi akan secara otomatis menteri yang diusung PKS juga bakal dicopot dari kabinet. "Ketika PKS didepak dari koalisi itu tidak otomatis Presiden mendepak menteri yang di-endorse oleh PKS," kata Irman melalui saluran telepon di Jakarta, Jumat (6/4/2012).
Dia menuturkan sungguh berbahaya bila pendepakan PKS diartikan dengan pencopotan menteri di kabinet. Praktik demikian, sambung Irman, justru menampilkan Presiden SBY tengah dijajah oleh partai politik koalisi. "Kalau itu terjadi, presiden tengah dijajah hak prerogatifnya. Ini berbahaya dalam konstitusionalitas kita," terang Irman.
Lebih lanjut Irman menyebutkan sah-sah saja SBY sebagai Ketua Setgab Koalisi bertemu dengan pimpinan partai koalisi. Hanya saja, Irman mengingatkan Presiden SBY tidak bisa menyerahkan harga dirinya dan martabatnya sebagai presiden kepada pimpinan partai politik tertentu atau partai koalisi. "Karena itu bisa merusak sistem presidensial yang berlaku. Dan itu bisa dipermasalahkan," imbuh Irman.
Dalam kode etik koalisi yang diteken enam pimpinan partai koalisi yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB serta Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono di poin enam disebutkan ihwal pergantian personil kabinet.
"Dalam hal presiden melakukan reshuffle kabinet sesuai dengan urgensi dan prerogatifnya, presiden dapat melakukan pergantian personil, perubahan portofolio, dan bahkan apabila sangat diperlukan melakukan pengurangan/penambahan jumlah menteri parpol dalam kabinet,"
Namun, di poin itu juga disebutkan jika Presiden mengambil keputusan pergantian atau penambahan jumlah menteri yang berasal dari partai koalisi yang merupakan hak prerogatifnya, Presiden juga mempertimbangkan, a) evaluasi kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang didasarkan pada kontrak kinerja dan pakta integritas; b) efektivitas dan soliditas KIB II; c) masukan partai politik koalisi atas permintaan presiden sebelum keputusan presiden diambil" demikian salah satu poin kode etik koalisi yang diteken Mei 2011 lalu itu.
Hiruk-pikuk yang mengemuka ke publik terkait dengan posisi PKS dalam koalisi, termasuk menteri-menterinya, tak lain sebagai upaya berbagi hak prerogatif presiden kepada partai koalisi. Memang, urusan koalisi adalah urusan politik praktis. Namun jika menyangkut posisi menteri jelas itu urusan Presiden, tak bisa dibagi apalagi dijajakan kepada lainnya. Dulu, kini, dan nanti urusan menteri adalah urusan Presiden. Bukan yang lain. [mdr]

Rabu, 04 April 2012

SBY Akan Ganti 3 Menteri dari PKS

JAKARTA (EKSPOSnews): Presiden Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) tampaknya akan segera melakukan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.

Reshuffle kabinet dilakukan dalam waktu dekat setelah tadi malam, Selasa (3/4/2012) SBY memutuskan tidak melanjutkan kontrak koalisi dengan PKS. SBY mengambil keputusannya dalam forum Setgab Koalisi.

"Perhatian utama Presiden SBY saat ini adalah menyusun kembali formasi koalisi yang lebih rapi dan lebih dapat diandalkan," ucap Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa, melalui pesan singkat, Rabu 4 April 2012.

Daniel mengatakan, saat ini amat krusial bagi SBY untuk menyusun kembali koalisi yang efektif. "Ini adalah saat yang krusial bagi Presiden SBY untuk memastikan hadirnya koalisi yang efektif di parlemen dan di kabinet," ujarnya.

Seperti diberitakan Sekretaris Setgab Koalisi Syarief Hasan mengatakan, kontrak koalisi PKS dengan Presiden SBY tidak diperpanjang hingga 2014. Dengan kata lain, saat ini PKS bukan lagi bagian dari koalisi pemerintah meski masih memiliki kader di kabinet.

"Akibat melanggar peraturan, saat ini anggota koalisi hanya sejumlah lima partai (tanpa PKS, red). Jadi tidak ada istilah dikelyarkan karena seua sudah berakhir, PKS melanggar kontrak," ujar Syarief di Cikeas. (inilah)

Selasa, 03 April 2012

Suaro Hati - Kenaikan BBM Ledakkan Konflik



JAKARTA, (PRLM).- Menaikkan harga BBM ini sama saja dengan menyukut dan mempercepat meledaknya sumbu konflik sosial karena rakyat akan makin susah. Hal itu dikatakan pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy dalam dialog kenaikan harga BBM di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (1/3) bersama Hendri Saparini (INDEF), Daryatmo Mardiyanto dan Effendi Simbolon (FPDIP) DPR RI.
Seharusnya, kata Ichsan, kita menyontoh China, di mana infrastruktur potensial menyangkut kepentingan rakyat tidak diserahkan kepada swasta, apalagi asing. “Contohnya tol, maka kenaikan harga tol pun tak bisa dikendalikan oleh pemerintah. Jadi, kita saat ini seolah tak punya peluang untuk keluar dari neoliberal dan utang luar negeri sudah menjadi kanker yang sangat ganas bagi bangsa ini."
Bahkan dia menegaskan bahwa tak ada jaminan pada 2014 ada perbaikan sistem jika kondisinya tetap seperti sekarang ini. “Presiden SBY pun akan selamat sampai 2014 karena dijamin oleh pengusaha. Sementara yang meminta kenaikan BBM itu adalah para pengusaha yang memang mengambil keuntungan. Padahal, solusi untuk tidak menaikkan BBM itu banyak, antara lain jangan serahkan energy ke asing, evaluasi kontrak, amandemen UU Energy kembali ke konstitusi,transaksi G to G kurangi pencurian dan sebagainya, katanya.
Pengamat Ekonomi, Hendri Saparini mengakui jika kita hampir tidak mempunyai kedaulatan energy dan pangan. Sehingga isunya dialihkan ke ketahanan pangan.
“Karena kebijakannya adalah ketahanan pangan, maka yang penting ada stok energy dan pangan meski dibanjiri impor. Inilah yang justru makin membuat rakyat susah. Pemerintah tak bisa kelola energi dan malah membuat kebijakan yang menyesatkan rakyat. Petani, nelayan, dan sector ekonomi lainnya makin terpuruk. Anehnya mengambil kebijakan yang paling mudah dengan menaikkan harga BBM, tanpa memikirkan dampaknya yang sangat luas,” ungkapnya.
Hendri Saparini mengatakan langkah untuk menaikan harga BBM yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah bukti dari pengelolaan kebijakan energi yang buruk. Pemerintah mengelola sektor yang sangat strategis tapi dengan kebijakan yang asal jadi. Seharusnya baik rencana pembatasan maupun subsidi harus dilihar secara umum dampak keseluruhannya dan jangan hanya terfokus pada rencana untuk mengetatkan anggaran.
“Semestinya kebijakan itu memberikan manfaat.Mestinya pemerintah tidak hanya melihat pembatasan subsidi dari untung penghematan anggaran saja, tapi harus dilihat dampaknya secara umum. Pemerintah seharusnya mencermati agar jangan sampai langkah menaikan BBM ini mengganggu daya beli masyarakat dan daya saing industri.Kalau kita cuma mau menghemat APBN saja,tapi mengurangi daya beli dan daya saing, maka dampaknya bisa lebih besar nilainya terhadap perekonomian nasional,” imbuhnya.
Jangan sampai lanjut Hendri kebijakan ini justru mendorong peningkatan impor karena daya beli dan daya saing kita rendah terhadap negara lainnya. “Masyarakat jangan diberikan hukuman karena konsumsinya terlalu banyak dengan kebijakan ini. (A-109/A-26).