Sabtu, 31 Juli 2010 21:28
Share32
"Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan oleh sebuah krisis kepemimpinan proletariat di dalam sejarah." -- Leon Trotsky.
Tulisan ini merupakan hasil dari diskusi intensif saya dengan kawan Jesus S. Anam (Militan Indonesia) mengenai kondisi kapitalisme dunia dan kualitas perjuangan buruh Indonesia hari ini. Jesus menjelaskan bahwa kerusakan akut dari ekonomi kapitalis hari ini, dengan menggunakan perspektif Trotsky, telah menunjukkan syarat-syarat objektif untuk revolusi proletariat. Syarat-syarat ini bukan hanya sudah matang, tetapi sudah mulai membusuk. Dan krisis kapitalisme hari ini, yang termanifestasi secara dramatis dengan keruntuhan finansial, yang segera diikuti oleh suatu kemerosotan perekonomian dunia dalam skala yang belum pernah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, merupakan momentum kritis yang tak terbantahkan.
Pada tahun 1938, dalam Program Transisional, menurut Jesus, Trotsky telah menggambarkan mengenai kematian kapitalisme dengan cara yang sangat mengerikan. Dan perspektif Trotsky ini sangat tepat untuk mendiskripsikan situasi yang tengah terjadi saat ini.
Fenomena kerusakan karena gerak anarkis kapitalisme tengah terjadi di mana-mana. Bencana politik, ekonomi, dan ekologi terus dipertunjukkan oleh kapitalisme. Keterlibatan AS dalam perang di Afghanistan selama hampir 10 tahun telah menimbulkan kerusakan politik dan tata sosial. Dan juga keterlibatannya dalam perang saudara di Irak, tentu, akan menimbulkan perang sektarian yang lebih besar lagi. Kerusakan yang lebih parah di planet ini akan terus terjadi. Bencana BP di Teluk Meksiko adalah pertunjukan terbaru yang spektakuler.
Sesuatu yang tak terpikirkan oleh kita kini juga terjadi. Setelah perang minyak, yang memang telah lama dimulai, sekarang mulai ribut soal air. PBB menyatakan bahwa sepertiga dari populasi dunia akan tinggal di negara-negara yang terkena dampak kekurangan air. Dan Kopenhagen Summit digelar untuk membicarakan mengenai perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang cukup membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia.
Yang terpenting dari semua fakta kritis yang telah ditunjukkan, kapitalisme terbukti tidak mampu menjalankan gerak perekonomian dunia, yang akhirnya membentuk berbagai sumber masalah yang akan berdampak berat. Baru beberapa bulan yang lalu kaum kapitalis internasional mempertahankan rencana stimulus fiskal mereka. Tetapi dalam debat sengit pada pertemmuan G20 di Toronto, mayoritas para pemimpin kapitalis berayun ke program penghematan.
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kapitalisme Eropa. Kaum Konservatif Inggris dan Kanselir Jerman, Merkel Angela, juga menabuh genderang mendukung program penghematan. Tapi jalan penghematan ternyata malah semakin memperparah krisis ekonomi. Bahkan yang terjadi adalah krisis utang pemerintah akibat kebijakan bail out terhadap bank-bank dan pengucuran berbagai dana kesejahteraan.
Tidak ada yang mampu memecahkan persoalan ini. Di Inggris, sekitar 750.000 lapangan kerja di sektor publik akan menghilang, dan sebagai konsekuensinya, sekitar 600.000 lapangan kerja di sektor swasta juga akan lenyap, meskipun sektor swasta diperkirakan mampu menciptakan dua juta lapangan kerja baru. Kelemahan basis industri di Inggris ini akan menghancurkan ilusi bahwa kemampuan dalam ekspor merupakan jalan keluar dari krisis. Jerman juga mengalami hal yang sama. Meskipun memiliki banyak peningkatan dalam bidang ekspor, tetapi karena seluruh dunia mengalami deindustri, khususnya seluruh Eropa, maka tidak akan memperoleh keuntungan. Dan Cina, saat ini, masih berjalan lamban akibat terlalu panas dan runtuhnya sektor properti. Terjadi over-investasi dan kapasitas surplus yang masif. Keputusan Cina untuk merevaluasi mata uangnya ternyata hanya 0,77%, terlalu jauh dari yang diperkirakan.
Kalaupun terjadi kebangkitan ekonomi di Jerman, ini tidak akan terlihat karena sebanding dengan melonjaknya jumlah pengangguran, akumulasi kerugian dalam pendapatan dan penurunan standar kehidupan. Dengan menegakkan kebijakan neo-liberal, jutaan buruh di Eropa saat ini berada dalam kondisi yang lebih buruk dibanding sebelum krisis. Para pemilik modal akan mendorong banyak buruh ke sektor informal dan tidak aman, sehingga mereka lebih mudah untuk memecat buruh.
Pemerintah koalisi baru Inggris mencari jalan dengan menyerang kondisi kelas buruh. Rencana pemotongan brutal akan memotong pembayaran redundansi bagi seluruh sektor publik dan pegawai negeri sipil menghadapi pengurangan hak pensiun. Ada serangan di seluruh Eropa atas dana pensiun. Di Perancis, Presiden Sarkozy ingin menaikkan usia pensiun menjadi 62 hingga tahun 2018. Anatole Kaletsky, dalam majalah Times (London), meratapi fakta bahwa masyarakat hidup terlalu lama setelah pensiun. Dia menyarankan agar dana pensiun hanya dibayar selama 10 tahun setelah pensiun dan orang-orang yang hidup lebih lama harus kehilangan hak mereka.
Mengenai situasi di Yunani, Jesus mengatakan bahwa Yunani merupakan mata rantai terlemah dari kapitalisme Eropa. Kaum kapitalis Eropa melihat Yunani sebagai sebuah stress test dari kemampuan perlawanan kelas buruh. Terdapat serentetan propaganda bohong yang tak terduga. Kaum buruh meresponnya dengan enam pemogokan umum. Kelas buruh di Yunani sekarang sedang mencerna pengalamannya dan akan "menunggu hingga musim gugur", saat suhu politik benar-benar memanas.
Pemogokan umum atau kemungkinan akan meledaknya pemogokan umum tengah berakar di banyak negara di Eropa, kata Jesus. Di Perancis sudah terjadi dua pemogokan pada bulan lalu mengenai dana pensiun. Hal ini merupakan tindakan yang paling menentukan sejak pemogokan menentang rencana Juppé pada tahun 1995. Kita juga telah melihat aksi mogok serupa di Italia, Spanyol dan Portugal, dengan sebuah pergeseran tegas ke arah kiri di Spanyol, juga dalam beberapa organisasi buruh di Portugal.
Pemogokan umum secara umum hampir selalu berhubungan dengan masalah kekuasaan. Kelas buruh membawa seluruh masyarakat untuk mogok. Namun, pemogokan umum baru-baru ini lebih bersifat protes. Di Yunani telah terjadi pemogokan selama 24 hingga 48 jam. Namun kelas buruh Yunani masih harus bergerak lebih jauh lagi, jika masih ingin memaksa pemerintah untuk mundur.
Seluruh situasi hari ini di mana pemogokan umum yang nampak lentur adalah karena tidak adanya organisasi yang kuat yang dapat membentuk perjuangan. Hal ini berbeda dengan tahun 1980-an ketika terjadi kesadaran sosialis dan menyatu dengan partai buruh dalam memainkan peran. Tidak adanya organisasi sosialis hari ini telah menahan gerak kelas buruh, bahkan ketika kapitalisme sedang menunjukkan ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Tidak setiap negara memiliki tahapan yang sama dalam perjuangan. Di Irlandia, skala pemotongan yang terjadi secara kolosal telah mengejutkan kelas buruh, khususnya setelah selama sekitar dua dekade mengalami standar hidup yang tinggi dalam sejarah Irlandia. Terdapat juga unsur-unsur yang sama di Inggris. Tapi kesadaran massa dapat berubah dengan sangat cepat terutama jika kontradiksi kelas terjadi. Kemarahan buruh lebih banyak diarahkan kepada bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan besar. Tetapi tanpa mengajukan ide-ide sosialis, tentunya, tidak akan mendapati kemenangan.
Jesus mengingatkan agar mewaspadai tumbuhnya nasionalisme, rasisme, dan kelompok-kelompok sayap kanan seperti terlihat di Austria, Italia dan di beberapa tempat lain. Kelompok sayap kanan akan berada di garis terdepan pada tahap pertama krisis jika tidak ada massa progresif yang bergerak. Faktor lain juga bisa menjadi penyebab meningkatnya permasalahan nasional. Kita harus menempatkan posisi sosialis dalam situasi seperti ini. Aksi massa baru-baru ini di Barcelona yang mendukung nasionalisme Katalan merupakan indikasi dari apa yang tengah berkembang.
Mengenai krisis di Timur Tengah, menurut Jesus, tidak ada hal yang memungkinkan untuk terjadi kesepakatan antara Israel dan Palestina. Seluruh Timur Tengah dipengaruhi oleh krisis ekonomi; Mesir tengah berada dalam posisi kritis dan berada di ambang gejolak sosial besar. Obama tidak akan bertindak apa-apa karena kedekatan AS dengan kapitalisme Israel.
Apa yang kita lihat di Cina, dengan pemogokan dan protes untuk gaji yang lebih baik, dengan perlawanan menentang kondisi sosial dan buruh yang sangat buruk, merupakan gema dari perjuangan buruh di Rusia pada tahun 1896. Kaum buruh di Cina hari ini sedang membangun serikat-serikat buruh independen.
Di bawah kapitalisme, prospek perlawanan yang maha dahsyat tengah dibangkitkan. Hal ini, secara grafis, dapat diilustrasikan dengan pengalaman buruk Meksiko dan perang obat bius yang pernah menyelebungi sebagian masyarakat. Semua kerusakan ini akan terhindar jika kelas buruh melakukan tugas-tugas sejarahnya, yakni mengambil kepemimpinan dan membawanya menuju sosialisme.
Serangkaian ledakan-ledakan peristiwa, cepat atau lambat, akan menaikkan radikalisasi massa, itulah mekanisme dasar revolusi. Pada tahun 2008 lalu, sebuah krisis finansial global telah menyeruak, dan krisis ini merupakan peristiwa yang paling berat sejak Perang Dunia Kedua. Hari ini, di Eropa, kita juga tengah menyaksikan krisis yang cukup memukul. Dan ini cukup berdampak juga bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Momentum kritis dari sebuah periode yang seharusnya mampu memunculkan radikalisasi massa, namun, di Indonesia, faktanya, tak memperlihatkan hal tersebut. Munculnya kepemimpinan revolusioner dari kelas buruh, yang merupakan bagian integral dari kondisi obyektif ini juga tidak terjadi. Kelas buruh masih terpaku di tempatnya. Masih asyik meratapi nasibnya dengan nyanyian sendu yang melankolik. Serikat-serikat buruh masih berfungsi sekedar sebagai lembaga bantuan hukum bagi buruh. Lompatan progresifnya belum nampak. Kepemimpinan revolusionernya belum terbentuk.
Fenomena ini juga terlihat secara umum di dunia. Walaupun sudah terjadi pemogokan-pemogokan besar di Eropa dalam menanggapi krisis ekonomi baru-baru ini, secara umum tingkat perlawanan kaum buruh masihlah tertinggal dari kondisi objektif yang ada. Ini karena hubungan antara krisis ekonomi dan kesadaran buruh bukanlah satu hal yang otomatis. Krisis ekonomi yang besar justru dapat mengejutkan kaum buruh sehingga mereka justru menundukkan kepala mereka, menunggu lewatnya topan badai. Depresi Hebat 1929 tidak mendorong rakyat buruh bergerak hingga tahun 1934. Ketertinggalan kesadaran ini justru akan menjadi sebuah ledakan ketika buruh mulai bergerak, seperti sebuah dam yang dibelakangnya penuh dengan air bah yang tertahan untuk sementara waktu tetapi niscaya akan menyeruak.
s
Mengenai kualitas perjuangan buruh di Indonesia, Jesus mengatakan bahwa superaktivisme masih menjadi tradisi yang mengakar dalam organisasi-organisasi buruh di Indonesia. Superaktivisme adalah kecenderungan untuk selalu ingin aktif di lapangan dan mengabaikan pendidikan politik yang sistematis. Mereka, para pemimpin serikat buruh, seringkali mengatakan bahwa kaum buruh hanya mampu sampai pada tuntutan-tuntutan ekonomi saja. Pemahaman ke arah politik masih terlalu rumit bagi kaum buruh, begitu ujar mereka. Tendensi ini, yakni tendensi ekonomisme, justru membodohi dan menjerumuskan kaum buruh.
Reformisme Eduard Bernstein, menurut Jesus, juga mulai mewarnai pemikiran dan sebagai basis orientasi dalam serikat-serikat buruh hari ini di Indonesia. Rosa Luxemburg, dalam bukunya Reformasi atau Revolusi, cukup membantu kita untuk bisa mengurai konsepsi reformis Eduard Bernstein. Dalam periode kebingungan seperti saat ini, gagasan-gagasan reformis terlihat cukup mekar bersemi dalam organisasi-organisasi buruh.
Gagasan-gagasan baru ”kreatif”, yang menawarkan Sosial Demokrasi (Sosdem) untuk mengatasi kelumpuhan ideologis dan politik gerakan selama buruh selama ini, dengan metode parlementer dan kolaborasi kelas, yang menganggap bahwa perjuangan buruh melalui mekanisme parlementer merupakan suatu cara yang diperlukan untuk mentransformasikan kapitalisme menuju sosialisme, mulai menjadi pilihan pijak bagi organisasi-organisasi buruh. Gagasan AE Priyono misalnya, yang tertuang dalam artikelnya “Reaktualisasi Sosial Demokrasi Relevansi dan Konteksnya di Indonesia Dewasa ini,” merupakan provokasi teoritik yang bisa membelokkan aktivis-aktivis buruh menuju jalan buntu.
Bagi perjuangan buruh yang mengunakan sosialisme sebagai basis pijak, revolusi bukanlah hal yang bersifat taktis, melainkan prinsipil. Tetapi reformisme, yang kini banyak menghinggapi organisasi-organisasi buruh, tetap yakin bahwa kapitalisme bisa diubah menjadi sosialisme dengan jalan reformasi. Analisa Bernstein, yang menjadi rujukan kaum reformis, didasarkan pada satu premis utama bahwa kapitalisme mampu beradaptasi terhadap krisis, adaptif terhadap kontrol sosial, dan mampu memberikan reformasi bagi kepentingan kelas buruh.
Melihat kondisi obyektif dari tidak adanya kepemimpinan revolusioner dalam menyambut gegap gempita kebangkrutan kapitalisme global, pembangunan organisasi-organisasi buruh yang berbasis ideologi sosialis di Indonesia menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Situasi ekonomi dan politik dunia sekarang ini sebenarnya telah membuka kesempatan baru untuk membangun gerakan buruh yang progresif dan revolusioner. Dan kesempatan ini harus segera diambil sehingga tidak berlalu begitu saja. Karena, bila kita tidak mampu membawa krisis kapitalisme ini menuju jalan sosialis, maka jalan yang lainnya adalah barbarisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar