Selasa, 17 April 2012

GEMPAR SOEKARNO PUTRA (Bagian-III/Habis)


Gempar, Pengakuan Satrio Piningit

Oleh: (Y.CHANDRA MUAS)
2002-04-02 10:50:52
(Pada Bagian-II Gempar mengisahkan perjalanan hidupnya di saat remaja yang penuh kegetiran. Walau begitu ia mengukir prestasi yang cukup gemilang. Nasib malang masih mengikuti Gempar sampai ke Jakarta.Di ibukota berbagai perlakuan kejam dialaminya. Namun semua ini membuatnya tumbuh menjadi lebih tegar. Bahkan ia meraih berbagai kesuksesan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.)
Di pagi hari Februari 1978, Gempar menapakkan kakinya di Pelabuhan Bitung. Cuaca tenang, panas pun tidak begitu menyengat. “Saya harus tetap ke Jakarta untuk merubah nasib,”tekad Gempar yang hanya berbekal uang Rp 25 ribu, sementara harga tiket kapal ke Jakarta Rp 75 ribu. Di pelabuhan kapal Pelni yang akan ditumpanginya sedang memuat barang. Waktu itu, kapal untuk penumpang, disatukan dengan barang.
Saat petugas lengah Gempar berhasil menyelinap naik kapal, dengan berpura-pura sebagai anak buah kapal (ABK). Satu setel pakaian yang terbungkus kantong plastik, diselipkannya di pinggang celana bagian belakang. Sedang ijazah sebagai modal utama merantau disimpannya dalam sepotong buluh (bambu) kecil, agar tidak rusak.
Pukul 14.00 sirine kapal berbunyi, menandakan kapal segera meninggalkan dermaga. “Hati saya bergetar, airmata saya sempat jatuh, entahlah saya akan selamat di perjalanan. Terbayang wajah Mami (panggilan Gempar untuk ibunya-Red), Opa, juga Oma saya di kampung. Ketika kapal bergerak perlahan meninggalkan dermaga, dari atas geladak, saya saksikan pengantar melambaikan tangan kepada sanak saudaranya yang ada di kapal. Saya pun melambaikan tangan. Tapi tidak tahu lambaian itu saya tujukan pada siapa, karena memang tidak ada yang mengantar kepergian saya. Hati saya cuma berucap, selamat tinggal Manado,” papar Gempar.

Tak lama kemudian lewat pengeras suara diumumkan akan ada pemeriksaan tiket. “Jantung saya langsung berdebar, karena menurut cerita orang-orang, penumpang gelap yang tertangkap di kapal, akan dilempar ke laut lepas oleh ABK,” ujar Gempar.
Ia langsung bersembunyi di sebuah celah yang terletak persis di sisi cerobong asap, posisi yang telah ditandainya sejak siang hari. Begitu petugas pemeriksa datang, Gempar langsung menyelinap ke celah tadi.
“Panasnya luar biasa. Andaikan lebih dari sepuluh menit saya berada di tempat itu, saya pasti mati. Entah kenapa, begitu petugas sampai di tempat persembunyian saya, tiba-tiba hujan turun deras sekali, petugas itu pun pergi. Kemudian dalam keadaan basah kuyup saya turun ke bawah. Saat itulah saya tertangkap oleh seorang ABK. Saya katakan sejujurnya kesulitan saya. Mereka pun akhirnya iba dan memperbolehkan saya menumpang dengan syarat saya membantu berbagai pekerjaan di kapal.  Setelah di kapal ,saya baru tahu kapal yang saya tumpangi tujuan akhirnya Surabaya,” kata Gempar.
Setiba di Surabaya Gempar menyambung perjalanan ke Jakarta dengan naik kereta ekonomi dari Stasiun Pasar Semut Lagi-lagi ia menjadi penumpang gelap dengan bersembunyi di gerbong berisi ternak sapi dan kambing. Keesokkan paginya, Gempar tiba di Stasiun Gambir.
“Saya tercengang menyaksikan Tugu Monas yang menjulang tinggi tidak jauh dari stasiun. Saya sarapan pagi bubur ayam di lapangan Monas. Selanjutnya dari sana dengan naik bis saya menuju ke rumah adik kandung ibu saya, Boy Langelo,yang tinggal di Jalan Gandaria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ” tutur Gempar.
KE DUNIA TEATER
Sampai di sana, Boy Langelo kebetulan sedang ada di rumah, karena waktu itu hari libur. “Sambutan Om saya cukup bagus. Sedang isterinya menampakkan wajah tidak suka. Saya ditempatkan di sebuah kamar kecil dan pengap. Beberapa hari di sana, satu persatu dari tiga orang pembantunya mulai diberhentikan. Sebagai orang yang hidup menumpang, di sana saya tahu diri. Saya kerjakan berbagai pekerjaan yang bisa saya lakukan. Namun, karena tidak disukai orang, lama-lama saya tidak betah juga,” papar Gempar.
Kemudian Gempar melamar masuk AKABRI yang pendaftarannya di Kodam Jaya, Cililitan. Semua testing berhasil dia lalui dengan baik. Namun saat test terakhir Pantukhir yang memaksanya berjalan sambil berjongkok, Gempar menolak.
“Saya dibentak karena tidak patuh. Saya bilang, ini bukan zaman feodal.Mereka harus memperlakukan orang dengan wajar. Mungkin karena itu, saya tidak lulus,” ujar Gempar.
Untungnya, saat mendaftar masuk AKABRI, ia berkenalan dengan Dolvi Lomboan seorang bintara remaja Angkatan Udara asal Sulawesi Utara. Mendengar keluhan Gempar, Dolvi lantas mengajaknya tinggal di asrama di Komplek Angkatan Udara Halim Perdanakusumah.
Gempar kemudian keluar dari rumah pamannya. Biaya hidupnya sehari-hari banyak dibantu Dolvi . Ketika Dolvi lulus masuk AKABRI dan harus berangkat ke Magelang, Gempar pun bingung harus tinggal di mana. Untungnya ia masih menyimpan sebuah alamat saudara ibunya, Cherry Pangalila, seorang artis tahun ’80-an yang populer dengan sebutan Cherry Ivone tinggal di Jalan Kebun Kacang ,Jakarta Pusat.
Di rumah Cherry yang ketika masa itu hidup menjanda, lagi-lagi memperlakukan Gempar sebagai pembantu, karena kebetulan ketika Gempar datang, pembantunya berhenti. Mulai dari belanja ke pasar, mencuci, menyetrika pakaian hingga membersihkan rumah, dikerjakannya .” Lagi-lagi saya berfikir, hidup kok! dari  kecil jadi pembantu terus,” keluh Gempar.
Waktu itu Cherry sering ke Taman Ismail Marzuki, tempat berkumpulnya para artis. Diam-diam Gempar pun sering datang ke sana. Di sanalah lewat Dana Christina, seorang artis, Gempar berkenalan dengan Teguh Karya. Sutradara kondang ini kemudian memberi kesempatan pada Gempar menjadi figuran dalam film “Darah Daging” dan “Pengemis dan Tukang Becak”.
Dunia artis ternyata kurang pas bagi Gempar, sehingga ia mengundurkan diri. Suatu hari, tanpa sebab yang jelas, mungkin karena Gempar lalai dengan tugas sehari-hari di rumah, Cherry mengusirnya.” Pakaian saya dibuang ke bak sampah di depan rumah. Pintu pagar pun digembok. Saya tidak boleh masuk.
Dalam keadaan hujan lebat sore itu, saya bingung harus ke mana. Akhirnya saya naik bis menuju rumah Om Boy Langelo. Ternyata paman sekeluarga sudah pindah. Rumah itu kosong. Saat itulah saya ditegur Pak Anwar, tukang buah yang berjualan persis di samping pintu masuk rumah paman saya.”
Tukang buah itu menawari Gempar untuk tinggal di rumahnya, tepat di pinggiran Sungai Gandaria, yang membelah Kebayoran ,Jakarta Selatan. Seminggu tinggal dengan keluarga Anwar, Gempar ikut pedagang buah itu berbelanja ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Ketika Anwar diperlakukan kasar oleh para preman pasar, spontan emosi Gempar meluap. Gempar pun langsung dikeroyok.
“Saya tidak tahu, berapa orang yang saya lawan, yang jelas, saya berhasil merampas salah satu golok mereka dan nyaris menghabisi salah seorang.diantara mereka. Sejak itulah, mereka menganggap saya jagoan. Setiap kali saya datang, mereka memberi uang upeti atau setoran. Lama-lama uang dari hasil begitu bertentangan dengan hati nurani saya, sehingga pekerjaan itu saya tinggalkan dan saya tidak pernah muncul lagi di pasar” ujar Gempar.
MERENTAS JALAN POLITIK
Suatu hari Gempar memberanikan diri melamar pekerjaan di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan di Jl Gandaria Tengah, Kebayoran Baru.  “Karena sama-sama orang Manado, saya langsung menghadap Om Alex. Saya mohon bantuannya untuk mempekerjakan saya sebagai apa saja .Jadi tukang sapu pun tak apa. Akhirnya saya diterima sebagai juru ketik. Gajinya lumayan, bisa untuk hidup  mandiri dan menyewa sebuah kamar di kawasan Radio Dalam, dekat tempat saya bekerja,” kata Gempar.
Tahun 1985, Gempar direkomendir oleh Notaris Alex untuk kuliah. Tanpa hambatan, ia berhasil masuk Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kuliah yang berlangsung dari sore hingga malam ini, kebanyakkan mahasiswanya telah bekerja.
Di Kampus, Gempar cukup dikenal. Selain berwajah mirip Soekarno, sebagaimana sering diolok-olok temannya, ia pun supel dan pandai bergaul. Terbukti, mulai dari Satpam di Fakultas Hukum sampai para dosen senior, kenal padanya. Di samping itu, Gempar pernah menjadi Ketua Senat Ekstensi dan aktif dalam pergerakan mahasiswa lainnya.
Sayang, karena dia kuliah sambil bekerja, membuat masa kuliahnya cukup lama.Ia pun masih sempat memotori pergerakan mahasiswa UI bersama mahasiswa dari universitas lainnya saat aksi Reformasi tahun 1998 berdemontrasi ke Gedung DPR / MPR.
“Sebagai aktivis, waktu itu saya nyaris diculik. Mobil saya sempat dibayang-bayangi orang selama berhari-hari. Bahkan aktivitas sayapun selalu dibuntuti orang yang tidak dikenal,” ungkap Gempar.
Saat itulah namanya mulai muncul. Berbagai koran dan media terkemuka ibukota sering menampilkan sosoknya. Bahkan ia acap pula berorasi di berbagai forum bersama para tokoh terkenal. Di antaranya Rendra, Almarhum Dono Warkop (dosen Fisip UI), Hariman Siregar, Hariadi Darmawan, Roh Basuki dan Adnan Buyung Nasution .
RAHASIA DIBUKA
Menggali ilmu hukum di kampus diiringi praktek karja lapangan sesuai tugasnya di kantor notaris, membuat Gempar begitu matang dalam bidang hukum. Tidak saja di bidang kenotariatan, tetapi juga di bidang kepengacaraan. Terbukti, tahun 1985, walau belum bergelar Sarjana Hukum, dia sudah ditarik sebagai Legal Manager oleh PT. Toshiba Indonesia.
Selanjutnya meningkat sebagai Kuasa Direktur di PT Gemini Electrik Hitachi. Ia kemudian diangkat pula sebagai Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia, sekaligus sebagai Legal Konsultan pada Hitachi, Toshiba, ITT, Grundig dan beberapa perusahaan lainnya. Tidak hanya itu, ia dipercaya pula sebagai penasehat hukum di TMS Bank dan Tifa Bank.
Sejak dipercaya sebagai konsultan hukum inilah, kehidupan Gempar berubah seratus persen, ibarat siang dan malam. Kini selain punya beberapa rumah di Jakarta, ia pun punya dua mobil yang cukup berkelas, Mercedes Benz dan Hyundai tahun terakhir.
Seringnya Gempar muncul di berbagai televisi saat pelengseran rezim Orde Baru tempo hari, membuat ibunya yang menonton acara tersebut di Manado ketar ketir. Spontan, di penghujung tahun 1998, ibunya menyuruh Gempar pulang ke Manado. Karena kesibukan kerja, Gempar baru bisa pulang, Februari 1999. Begitu masuk ke rumahnya, Gempar terkejut, menyaksikan foto-foto Bung Karno dan ibunya terpajang di ruang tamu. “Ada apa ini ?” tanya Gempar. Sang ibu diam saja, bahkan menoleh pun tidak.
Pertanyaan itu dilontarkan Gempar hampir 3 kali. Ibunya tetap bungkam. Hingga akhirnya habis makan malam, sang ibu memanggil anaknya ke beranda depan. Di sanalah ibunya langsung bicara: “Kamu adalah anak Bung Karno.”
Spontan Gempar mencubiti tangan, pipi dan bagian lain badannya untuk memastikan ia dalam keadaan sadar, tidak bermimpi.” Saya goyang-goyang tubuh Mami, memastikan Mami dalam keadaan sadar,” ungkap Gempar. “Mami sadar,” ujar ibunya sambil membuka dokumen asli pernikahannya dengan Bung Karno yang disimpannya dalam sebuah kopor besi selama puluhan tahun.
Peristiwa ini membuat Gempar tak bisa tidur semalaman. Pikirannya menerawang, “Apakah benar saya anak Bung Karno ?” tanyanya. Sejak itulah ia menelusuri kebenaran nya dengan bertanya kepada orang-orang tua di sekitar tempat tinggal keluarganya di Manado. Hampir semuanya membenarkan. Ketika dia tanya kepada ibunya kenapa tidak diberi tahu dari dulu ?
Sang ibu menjawab, “Kalau Mami buka cerita ini sejak dulu, apakah kamu akan berumur panjang ? Amanat Bapakmu, anak siapa kamu sebenarnya, akan diberitahu, kalau kamu sudah berumur 40 tahun atau kamu sudah matang dalam politik. Kinilah saatnya hal ini Mami buka,” ujar sang ibu  sambil membuka selembar surat dengan tulisan tangan Bung Karno, yang memberi nama anaknya: Muhammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra.
Sepulangnya ke Jakarta, Gempar langsung ke makam ayahnya di Blitar, Jawa Timur. Seperti mendapat bimbingan batin, dari Blitar, Gempar Ke Yogyakarta, tepatnya ke pemakaman para Sultan di Imogiri. Di sinilah dia mendengar bisikan gaib yang dia sendiri tidak tahu sumbernya dari mana, membuat dia begitu merinding. “Sebagai Satrio Piningit, kamu harus berlaku adil terhadap rakyat,” tutur Gempar mengingat peristiwa itu.
Atas bimbingan seorang kiyai, di sanalah Gempar mengucapkan dua kalimah syahadat, yang artinya, dia resmi memeluk agama Islam. Hal itu segera dia laporkan pada ibunya di Manado. “Mami ikhlas dan merestui saya jadi Muslim. Bahkan menasehati, agar saya menjadi Muslim yang baik, sebagaimana amanat Bapak,” ucap Gempar.
Sumber: www.kartini-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar