oleh Irna G
Liputan6.com, Jakarta: Keputusan Mahkamah
Konstitusi untuk membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan
Gas Bumi (BP Migas) dinilai tepat. Selain melanggar konstitusi,
kehadiran BP Migas juga menimbulkan inefisiensi tata kelola hulu migas.
"Kalau BP Migas dibubarkan, itu berarti pintu inefisiensi di tutup Mahkamah Konstitusi, yang berarti akan untungkan bangsa dan negara," kata pengamat perminyakan Kurtubi kepada liputan6.com, Selasa (13/11/2012).
Kurtubi menilai bukti inefisiensi tersebut muncul karena BP Migas bukan perusahaan negara sehingga minyak dan gas yang merupakan bagian negara tidak bisa dijual sendiri oleh BP Migas, tetapi harus tunjuk pihak ketiga.
"Contoh, dalam mengembangkan gas di Tangguh, Papua Barat. Seharusnya yang membangun kilang pengolahan gas alam cair (LNG) dan yang menjualnya itu BP Migas, tapi karena bukan perusahaan negara, ditunjuk BP (perusahaan migas asal Inggris-red) dan LNG-nya diekspor ke China dengan harga yang sangat murah," papar dia.
Hal itu juga, lanjut Kurtubi, yang membuat PT PLN (Persero) mengalami kekurangan gas untuk mengoperasikan pembangkit listriknya sehingga terjadi inefisiensi sekitar Rp 37 triliun seperti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Selain melakukan inefisiensi, kehadiran BP Migas juga membuat birokrasi di sektor hulu migas menjadi lebih panjang. Hal ini membuat penemuan cadangan migas baru dalam skala besar tidak ditemukan sejak BP Migas lahir.
"Birokrasi yang berbelit-belit di BP Migas merugikan investor yang akan melakukan eksplorasi di blok baru, akibanya pemboran eksplorasi terhambat sehingga cadangan baru tidak ditemukan," tambahnya.
Dalam sidang yang dilakukan hari ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.
"Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut," kata Ketua Majelis Hakim mahfud MD seperti dikutip dari Antara, Selasa
MK menyatakan Frasa "dengan Badan Pelaksana" dalam Pasal 11 ayat (1), frasa "melalui Badan Pelaksana" dalam Pasal 20 ayat (3), frasa "berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 21 ayat (1), frasa "Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," lanjut Mahfud.
MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pengujian UU Migas ini diajukan oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas) diantaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami`yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan IKADI.
Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.
MK dalam pertimbangannya mengatakan hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak Pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam UU Migas adalah bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi.
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan pertimbangan, mengatakan jika keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum.
"Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru," kata Hamdan. (IGW)
Posted: 13/11/2012 13:48
Pengamat minyak dan gas Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), Kurtubi
"Kalau BP Migas dibubarkan, itu berarti pintu inefisiensi di tutup Mahkamah Konstitusi, yang berarti akan untungkan bangsa dan negara," kata pengamat perminyakan Kurtubi kepada liputan6.com, Selasa (13/11/2012).
Kurtubi menilai bukti inefisiensi tersebut muncul karena BP Migas bukan perusahaan negara sehingga minyak dan gas yang merupakan bagian negara tidak bisa dijual sendiri oleh BP Migas, tetapi harus tunjuk pihak ketiga.
"Contoh, dalam mengembangkan gas di Tangguh, Papua Barat. Seharusnya yang membangun kilang pengolahan gas alam cair (LNG) dan yang menjualnya itu BP Migas, tapi karena bukan perusahaan negara, ditunjuk BP (perusahaan migas asal Inggris-red) dan LNG-nya diekspor ke China dengan harga yang sangat murah," papar dia.
Hal itu juga, lanjut Kurtubi, yang membuat PT PLN (Persero) mengalami kekurangan gas untuk mengoperasikan pembangkit listriknya sehingga terjadi inefisiensi sekitar Rp 37 triliun seperti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Selain melakukan inefisiensi, kehadiran BP Migas juga membuat birokrasi di sektor hulu migas menjadi lebih panjang. Hal ini membuat penemuan cadangan migas baru dalam skala besar tidak ditemukan sejak BP Migas lahir.
"Birokrasi yang berbelit-belit di BP Migas merugikan investor yang akan melakukan eksplorasi di blok baru, akibanya pemboran eksplorasi terhambat sehingga cadangan baru tidak ditemukan," tambahnya.
Dalam sidang yang dilakukan hari ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.
"Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut," kata Ketua Majelis Hakim mahfud MD seperti dikutip dari Antara, Selasa
MK menyatakan Frasa "dengan Badan Pelaksana" dalam Pasal 11 ayat (1), frasa "melalui Badan Pelaksana" dalam Pasal 20 ayat (3), frasa "berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 21 ayat (1), frasa "Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," lanjut Mahfud.
MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pengujian UU Migas ini diajukan oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas) diantaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami`yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan IKADI.
Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.
MK dalam pertimbangannya mengatakan hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak Pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam UU Migas adalah bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi.
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan pertimbangan, mengatakan jika keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum.
"Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru," kata Hamdan. (IGW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar