In Historia, Politik on June 20, 2012 at 5:17 PM
Realistis dan tidak realistis. TATKALA isu percukongan menghangat, akhirnya Presiden Soeharto pun ikut berbicara. Bagi Presiden Soeharto tak ada perbedaan pribumi dan non pribumi dalam pemanfaatan modal untuk pembangunan. “Tanpa pengerahan semua modal dan kekayaan yang ada dalam masyarakat, tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan-pembangunan seperti yang kita lakukan dewasa ini”. Ia meneruskan “Kita tahu, bahwa kekayaan dan modal-modal yang ada dalam masyarakat sebagian besar tidak berada di tangan rakyat Indonesia asli atau pribumi. Bukannya pemerintah tidak tahu, tapi bahkan menyadari resiko dan bahaya penggunaan modal-modal non pribumi dan asing. Tetapi, keinginan membangun hanya dengan mengerahkan potensi-potensi nasional pribumi saja, yang kita ketahui keadaannya memang belum mampu, tidaklah mungkin dan tidak realistis”.
Selama seperempat abad sesudah 1970, Soeharto ‘membuktikan’ bahwa mengandalkan potensi pribumi saja memang ‘tidak realistis’. Maka, sejak 1970 itu ia tetap meneruskan mengandalkan usahawan non-pribumi untuk ‘pertumbuhan’ ekonomi. Entah karena hasil persaingan alamiah, entah karena topangan kebijakan Soeharto, terbukti dalam realitas bahwa pada tahun 1996 dari 25 konglomerasi pemuncak di Indonesia, 20 di antaranya milik pengusaha non-pri. Dari 5 yang tersisa, 2 adalah kepemilikan campuran pri-non pri, dan 3 pri. Dua dari tiga yang disebut terakhir adalah Group Humpuss milik Hutomo Mandala Putera, dan Group Bimantara milik Bambang Trihatmodjo-Indra Rukmana, dan satunya lagi Group Bakrie sebagai pribumi satu-satunya yang non-cendana. Sedang kepemilikan campuran, adalah Group Nusamba milik Bob Hasan-Sigit Harjojudanto, dan Group Pembangunan Jaya milik bersama Pemerintah DKI dan Ciputra cs.
Data Warta Ekonomi November 1996, menyebutkan Salim Group milik Liem Soei Liong sebagai group konglomerasi, teratas dalam omzet penjualan, per saat itu di tahun 1995 tercatat sebesar 53,117 trilyun rupiah. Peringkat kedua, Group Astra International yang sudah dimiliki Prajogo Pangestu dan Bob Hasan (setelah William Suryajaya terlontar keluar) hanya mencapai penjualan 40 persen dari Salim Group. Begitu pula Group Sinar Mas yang berada pada peringkat ketiga. Group Bakrie kala itu yang berada di peringkat 17 dan Group Humpuss di peringkat 18 sama-sama memiliki angka penjualan yang tak sampai 1/20 dari angka penjualan Group Salim. Sedikit lebih di bawah, di peringkat 20, adalah Group Cipta Cakra Murdaya milik Murdaya Po –pengusaha yang pernah dekat ke PDIP Megawati, suami Tati Murdaya Po, yang kini diketahui dekat dengan Presiden SBY– dengan penjualan yang juga di bawah 1/20 angka Group Salim. Group Bimantara yang ada pada peringkat 6 memiliki angka penjualan lebih baik, yakni pada level sedikit di bawah 1/10 dari angka Group Salim.
Bagaimanapun sampai 1996, secara keseluruhan 25 konglomerasi teratas itu, bersama group-group bisnis yang skalanya sedikit lebih kecil daripada para raksasa itu, memang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi rezim. Perpaduan penguasa dan pengusaha memang menjadi resep manjur dalam mencetak dan mengakumulasi dana. Mengikuti apa yang dikatakan Nyoo Han Siang 25 tahun sebelumnya, tercatat bahwa setiap konglomerasi memiliki jalinan dengan kalangan kekuasaan negara yang sangat efektif dalam merebut pangsa rezeki dari pembangunan. Sejauh yang bisa diketahui, tak ada satu pun di antara konglomerasi itu yang tak memiliki benang merah ke puncak-puncak kekuasaan. Perbedaannya hanya pada kualitas akses, ada yang langsung dan bisa setiap saat, seperti Liem Soei Liong atau Bob Hasan, dan ada yang harus melalui penjaga pintu tertentu, termasuk melalui Liem atau Bob atau kemudian, melalui putera-puteri Soeharto.
Namun, pada tahun 1997, tiba saatnya para konglomerat itu menjadi beban rezim Soeharto. Menghadapi krisis moneter yang mulai menggejala, diam-diam sejumlah konglomerasi Indonesia melakukan pinjaman-pinjaman untuk menolong likuiditas mereka. Pertengahan 1997 pinjaman konglomerasi-konglomerasi Indonesia bersama-sama mencapai sekitar USD 100 milyar, suatu jumlah luar biasa yang kemungkinan besar takkan terpikulkan.
Ketika krisis juga melanda bisnis para kroni dan keluarga, Presiden Soeharto mengambil beberapa tindakan, di antaranya kebijakan mengambangkan harga rupiah terhadap dollar dan memberikan Bantuan Likuiditas BI (BLBI). Saat itu, Gubernur Bank Sentral dijabat oleh Dr Soedradjat Djiwandono (1993-1998) yang beristerikan puteri begawan ekonomi Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo. Sejumlah konglomerat ikut menikmati BLBI, namun sebagian terbesar mengemplang bantuan itu untuk kepentingan mendesak perusahaan masing-masing atau setidaknya ‘menyelamatkan’ diri menggunakan kesempatan dalam kesempitan dengan membawa lari dana BLBI itu. Beberapa dari mereka belakangan, pasca Soeharto dan Habibie, berurusan dengan Kejaksaan Agung di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman. Antara lain, Syamsu Nursalim yang dengan Group Gadjah Tunggal-nya berada pada peringkat 7 daftar konglomerasi terbesar tahun 1995, Nusamba (Bob Hasan) peringkat 11, Prajogo Pangestu (Barito Pacific, peringkat 15). Di luar 25 konglomerasi besar, beberapa group yang lebih ‘kecil’ juga terlibat skandal BLBI, antara lain Group Modern, Group Bank BHS serta beberapa bank-bank kelas menengah lainnya. BCA Liem Soei Liong juga tak luput dari persoalan, sehingga pasca Soeharto bank itu di-takeover pemerintah.
Dalam masa sulit, saat kejatuhan Soeharto sudah mulai dibayang-bayangkan dan menjadi bahan analisa, menantu Presiden Soeharto Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang adalah putera Prof Soemitro, melontarkan suatu tuduhan serius kepada kelompok non pribumi. Theodore Friend (Indonesians Destiny, 2003) menuturkan bahwa suatu ketika menantu Presiden itu mendatangi ex tokoh 1966 Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) dan mengatakan, “Kalian China Katolik mencoba menjungkirkan Soeharto”. Sofyan menjawab, “Hanya kekuatan Muslim atau tentara yang cukup kuat untuk bisa menggulingkan Soeharto. Sungguh menggelikan bila ada yang berpikir bahwa kelompok sekecil kaum Kristen-Katolik atau China yang ada di sini bisa melakukannya”. Beberapa waktu sebelum kedatangan Prabowo, Sofyan juga didatangi Liem Soei Liong, dengan keluhan bahwa dirinya diberhentikan dari yayasan-yayasan Soeharto. Keterkaitan bisnis rupanya mulai dilepaskan.
Adalah menarik, bahwa sebelum percakapan Prabowo-Sofyan terjadi, menantu Presiden Soeharto itu banyak melakukan pendekatan dengan kekuatan Islam, mengajak mereka untuk memerangi “para pengkhianat bangsa”. Seraya itu, ia menyatakan keinginannya untuk “mengusir keluar seluruh orang China dari negeri ini, sekalipun itu akan menyebabkan kemunduran ekonomi dua puluh tahun atau bahkan tiga puluh tahun ke belakang”.
Meninggalkan Indonesia, dan tak kembali lagi. Saat mendengar berita kematian Liem Soei Liong di Singapura pekan lalu, sejumlah tokoh dan pengamat dari Indonesia, mengungkapkan kebaikan-kebaikan almarhum semasa hidup. Tentang sifatnya yang suka membantu dan kecintaannya terhadap Indonesia sebagai tanah air kedua bagi sang taipan. Tak terkecuali ‘kesetiaan’ dan konsistensinya menerima risiko sebagai teman Soeharto, seperti dikatakan Lin Che Wei seorang peneliti ekonomi muda. Ada pula cerita Sudwikatmono salah satu bekas teman bisnis Liem kepada pers, tentang Liem, bahwa “Dia kadang menangis kalau ingat rumah di Gunung Sahari. Ia pernah bilang pada saya kalau dia ingin mati di sana dan dikubur di Indonesia”. Dalam kenyataan, sejak meninggalkan Indonesia di tahun 1998, Liem Soei Liong tak pernah kembali lagi ke Indonesia. Ketika meninggal, keluarga juga memutuskan tidak membawa ‘pulang’ Liem Soei Liong untuk dikuburkan di Indonesia, melainkan memakamkannya di Singapura saja. Bagi Liem, Indonesia memang sekedar tempat persinggahan yang penuh berkah. Bukan tanah air kedua, tempat membumikan diri dengan dharma bakti sebagai warganegara.
Terlepas dari itu, tentu saja, di samping keburukan, semua manusia punya kebaikan. Mana di antara keduanya, antara kebaikan dan keburukan, yang lebih berat neracanya, hanya Dia yang di atas yang maha menentukan.
Tapi, dari sudut pandang manusia, khusus tentang kehadiran sosok Liem Soei Liong selama kurang lebih 61 tahun di tengah bangsa Indonesia, ada beberapa hal yang bisa dipersoalkan. Khususnya, dalam konteks hubungan negara dengan seorang konglomerat terbesar. Perlu mengutip –sekali lagi– tulisan Ahmad D. Habir dalam ‘Indonesia Beyond Soeharto’ (Donald K. Emerson, editor), yang mewakili suatu sudut pandang yang cukup objektif. “Kalau Salim Group memenuhi syarat argumentasi positif bagi bisnis sebagai mesin yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi berlandaskan pasar, maka logis kesimpulan bahwa Liem memang membantu memajukan Indonesia, sekurang-kurangnya secara makro. Namun patut ditarik kesimpulan lain sekiranya Salim Group menjelmakan gejala-gejala yang terdaftar pada argumentasi yang menentang konglomerat –adanya nepotisme dan korupsi di bawah manajemen yang tidak efisien dan tidak profesional yang berdampak menghambat pertumbuhan. Kalau demikian buruk jati diri konglomerat, maka lebih tepatlah anggapan bahwa group bisnis Liem dan preferential access-nya kepada presiden telah memperburuk –bukan mengurangi– keterbelakangan ekonomi Indonesia”.
Dalam sudut pandang yang subjektif, namun mengacu kuat kepada rasa keadilan, preferential access yang terus menerus dinikmati Liem Soei Liong, dan yang semacamnya, telah menimbulkan perlukaan di sanubari banyak orang di masyarakat yang menyaksikan betapa bagian terbesar kue hasil pembanguan hanya dinikmati segelintir orang tertentu selama puluhan tahun. Hanya karena suatu kedekatan personal dengan sang penguasa. Namun, bisa dipastikan bahkan bukan orang-orang yang terluka sanubarinya ini yang melakukan penjarahan dan perusakan rumah Liem Soei Liong di Gunung Sahari dalam rangkaian Peristiwa Mei 1998. Karena, peristiwa itu merupakan bagian dari masalah internal di tubuh kekuasaan Soeharto menjelang karam. Banyak yang menganalisa, di balik kerusuhan Mei 1998 yang beraroma rasialis, berdiri Letnan Jenderal Prabowo.
Apapun yang telah terjadi, Liem Soei Liong telah pergi meninggalkan Indonesia 1998, dan kini takkan mungkin kembali lagi. Tahun 2012, Giam Lo Ong (malaikat pencabut nyawa dalam kepercayaan China) telah menunaikan tugas penjemputan, dan kini Liem Soei Liong sudah membumi dalam artian sesungguhnya. Namun Liem Soei Liong, bagaimanapun juga telah memberi pelajaran berharga bagi para penguasa Indonesia, tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan para konglomerat. Mereka, para konglomerat, bisa terarah dengan baik untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa di bawah kepemimpinan yang baik. Sebagaimana mereka pun bisa balik ‘memimpin’ sang pemimpin yang memiliki kelemahan kepemimpinan dan kelemahan iman, dalam suatu fenomena wealth driven politic.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
Realistis dan tidak realistis. TATKALA isu percukongan menghangat, akhirnya Presiden Soeharto pun ikut berbicara. Bagi Presiden Soeharto tak ada perbedaan pribumi dan non pribumi dalam pemanfaatan modal untuk pembangunan. “Tanpa pengerahan semua modal dan kekayaan yang ada dalam masyarakat, tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan-pembangunan seperti yang kita lakukan dewasa ini”. Ia meneruskan “Kita tahu, bahwa kekayaan dan modal-modal yang ada dalam masyarakat sebagian besar tidak berada di tangan rakyat Indonesia asli atau pribumi. Bukannya pemerintah tidak tahu, tapi bahkan menyadari resiko dan bahaya penggunaan modal-modal non pribumi dan asing. Tetapi, keinginan membangun hanya dengan mengerahkan potensi-potensi nasional pribumi saja, yang kita ketahui keadaannya memang belum mampu, tidaklah mungkin dan tidak realistis”.
Selama seperempat abad sesudah 1970, Soeharto ‘membuktikan’ bahwa mengandalkan potensi pribumi saja memang ‘tidak realistis’. Maka, sejak 1970 itu ia tetap meneruskan mengandalkan usahawan non-pribumi untuk ‘pertumbuhan’ ekonomi. Entah karena hasil persaingan alamiah, entah karena topangan kebijakan Soeharto, terbukti dalam realitas bahwa pada tahun 1996 dari 25 konglomerasi pemuncak di Indonesia, 20 di antaranya milik pengusaha non-pri. Dari 5 yang tersisa, 2 adalah kepemilikan campuran pri-non pri, dan 3 pri. Dua dari tiga yang disebut terakhir adalah Group Humpuss milik Hutomo Mandala Putera, dan Group Bimantara milik Bambang Trihatmodjo-Indra Rukmana, dan satunya lagi Group Bakrie sebagai pribumi satu-satunya yang non-cendana. Sedang kepemilikan campuran, adalah Group Nusamba milik Bob Hasan-Sigit Harjojudanto, dan Group Pembangunan Jaya milik bersama Pemerintah DKI dan Ciputra cs.
Data Warta Ekonomi November 1996, menyebutkan Salim Group milik Liem Soei Liong sebagai group konglomerasi, teratas dalam omzet penjualan, per saat itu di tahun 1995 tercatat sebesar 53,117 trilyun rupiah. Peringkat kedua, Group Astra International yang sudah dimiliki Prajogo Pangestu dan Bob Hasan (setelah William Suryajaya terlontar keluar) hanya mencapai penjualan 40 persen dari Salim Group. Begitu pula Group Sinar Mas yang berada pada peringkat ketiga. Group Bakrie kala itu yang berada di peringkat 17 dan Group Humpuss di peringkat 18 sama-sama memiliki angka penjualan yang tak sampai 1/20 dari angka penjualan Group Salim. Sedikit lebih di bawah, di peringkat 20, adalah Group Cipta Cakra Murdaya milik Murdaya Po –pengusaha yang pernah dekat ke PDIP Megawati, suami Tati Murdaya Po, yang kini diketahui dekat dengan Presiden SBY– dengan penjualan yang juga di bawah 1/20 angka Group Salim. Group Bimantara yang ada pada peringkat 6 memiliki angka penjualan lebih baik, yakni pada level sedikit di bawah 1/10 dari angka Group Salim.
Bagaimanapun sampai 1996, secara keseluruhan 25 konglomerasi teratas itu, bersama group-group bisnis yang skalanya sedikit lebih kecil daripada para raksasa itu, memang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi rezim. Perpaduan penguasa dan pengusaha memang menjadi resep manjur dalam mencetak dan mengakumulasi dana. Mengikuti apa yang dikatakan Nyoo Han Siang 25 tahun sebelumnya, tercatat bahwa setiap konglomerasi memiliki jalinan dengan kalangan kekuasaan negara yang sangat efektif dalam merebut pangsa rezeki dari pembangunan. Sejauh yang bisa diketahui, tak ada satu pun di antara konglomerasi itu yang tak memiliki benang merah ke puncak-puncak kekuasaan. Perbedaannya hanya pada kualitas akses, ada yang langsung dan bisa setiap saat, seperti Liem Soei Liong atau Bob Hasan, dan ada yang harus melalui penjaga pintu tertentu, termasuk melalui Liem atau Bob atau kemudian, melalui putera-puteri Soeharto.
Namun, pada tahun 1997, tiba saatnya para konglomerat itu menjadi beban rezim Soeharto. Menghadapi krisis moneter yang mulai menggejala, diam-diam sejumlah konglomerasi Indonesia melakukan pinjaman-pinjaman untuk menolong likuiditas mereka. Pertengahan 1997 pinjaman konglomerasi-konglomerasi Indonesia bersama-sama mencapai sekitar USD 100 milyar, suatu jumlah luar biasa yang kemungkinan besar takkan terpikulkan.
Ketika krisis juga melanda bisnis para kroni dan keluarga, Presiden Soeharto mengambil beberapa tindakan, di antaranya kebijakan mengambangkan harga rupiah terhadap dollar dan memberikan Bantuan Likuiditas BI (BLBI). Saat itu, Gubernur Bank Sentral dijabat oleh Dr Soedradjat Djiwandono (1993-1998) yang beristerikan puteri begawan ekonomi Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo. Sejumlah konglomerat ikut menikmati BLBI, namun sebagian terbesar mengemplang bantuan itu untuk kepentingan mendesak perusahaan masing-masing atau setidaknya ‘menyelamatkan’ diri menggunakan kesempatan dalam kesempitan dengan membawa lari dana BLBI itu. Beberapa dari mereka belakangan, pasca Soeharto dan Habibie, berurusan dengan Kejaksaan Agung di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman. Antara lain, Syamsu Nursalim yang dengan Group Gadjah Tunggal-nya berada pada peringkat 7 daftar konglomerasi terbesar tahun 1995, Nusamba (Bob Hasan) peringkat 11, Prajogo Pangestu (Barito Pacific, peringkat 15). Di luar 25 konglomerasi besar, beberapa group yang lebih ‘kecil’ juga terlibat skandal BLBI, antara lain Group Modern, Group Bank BHS serta beberapa bank-bank kelas menengah lainnya. BCA Liem Soei Liong juga tak luput dari persoalan, sehingga pasca Soeharto bank itu di-takeover pemerintah.
Dalam masa sulit, saat kejatuhan Soeharto sudah mulai dibayang-bayangkan dan menjadi bahan analisa, menantu Presiden Soeharto Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang adalah putera Prof Soemitro, melontarkan suatu tuduhan serius kepada kelompok non pribumi. Theodore Friend (Indonesians Destiny, 2003) menuturkan bahwa suatu ketika menantu Presiden itu mendatangi ex tokoh 1966 Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) dan mengatakan, “Kalian China Katolik mencoba menjungkirkan Soeharto”. Sofyan menjawab, “Hanya kekuatan Muslim atau tentara yang cukup kuat untuk bisa menggulingkan Soeharto. Sungguh menggelikan bila ada yang berpikir bahwa kelompok sekecil kaum Kristen-Katolik atau China yang ada di sini bisa melakukannya”. Beberapa waktu sebelum kedatangan Prabowo, Sofyan juga didatangi Liem Soei Liong, dengan keluhan bahwa dirinya diberhentikan dari yayasan-yayasan Soeharto. Keterkaitan bisnis rupanya mulai dilepaskan.
Adalah menarik, bahwa sebelum percakapan Prabowo-Sofyan terjadi, menantu Presiden Soeharto itu banyak melakukan pendekatan dengan kekuatan Islam, mengajak mereka untuk memerangi “para pengkhianat bangsa”. Seraya itu, ia menyatakan keinginannya untuk “mengusir keluar seluruh orang China dari negeri ini, sekalipun itu akan menyebabkan kemunduran ekonomi dua puluh tahun atau bahkan tiga puluh tahun ke belakang”.
Meninggalkan Indonesia, dan tak kembali lagi. Saat mendengar berita kematian Liem Soei Liong di Singapura pekan lalu, sejumlah tokoh dan pengamat dari Indonesia, mengungkapkan kebaikan-kebaikan almarhum semasa hidup. Tentang sifatnya yang suka membantu dan kecintaannya terhadap Indonesia sebagai tanah air kedua bagi sang taipan. Tak terkecuali ‘kesetiaan’ dan konsistensinya menerima risiko sebagai teman Soeharto, seperti dikatakan Lin Che Wei seorang peneliti ekonomi muda. Ada pula cerita Sudwikatmono salah satu bekas teman bisnis Liem kepada pers, tentang Liem, bahwa “Dia kadang menangis kalau ingat rumah di Gunung Sahari. Ia pernah bilang pada saya kalau dia ingin mati di sana dan dikubur di Indonesia”. Dalam kenyataan, sejak meninggalkan Indonesia di tahun 1998, Liem Soei Liong tak pernah kembali lagi ke Indonesia. Ketika meninggal, keluarga juga memutuskan tidak membawa ‘pulang’ Liem Soei Liong untuk dikuburkan di Indonesia, melainkan memakamkannya di Singapura saja. Bagi Liem, Indonesia memang sekedar tempat persinggahan yang penuh berkah. Bukan tanah air kedua, tempat membumikan diri dengan dharma bakti sebagai warganegara.
Terlepas dari itu, tentu saja, di samping keburukan, semua manusia punya kebaikan. Mana di antara keduanya, antara kebaikan dan keburukan, yang lebih berat neracanya, hanya Dia yang di atas yang maha menentukan.
Tapi, dari sudut pandang manusia, khusus tentang kehadiran sosok Liem Soei Liong selama kurang lebih 61 tahun di tengah bangsa Indonesia, ada beberapa hal yang bisa dipersoalkan. Khususnya, dalam konteks hubungan negara dengan seorang konglomerat terbesar. Perlu mengutip –sekali lagi– tulisan Ahmad D. Habir dalam ‘Indonesia Beyond Soeharto’ (Donald K. Emerson, editor), yang mewakili suatu sudut pandang yang cukup objektif. “Kalau Salim Group memenuhi syarat argumentasi positif bagi bisnis sebagai mesin yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi berlandaskan pasar, maka logis kesimpulan bahwa Liem memang membantu memajukan Indonesia, sekurang-kurangnya secara makro. Namun patut ditarik kesimpulan lain sekiranya Salim Group menjelmakan gejala-gejala yang terdaftar pada argumentasi yang menentang konglomerat –adanya nepotisme dan korupsi di bawah manajemen yang tidak efisien dan tidak profesional yang berdampak menghambat pertumbuhan. Kalau demikian buruk jati diri konglomerat, maka lebih tepatlah anggapan bahwa group bisnis Liem dan preferential access-nya kepada presiden telah memperburuk –bukan mengurangi– keterbelakangan ekonomi Indonesia”.
Dalam sudut pandang yang subjektif, namun mengacu kuat kepada rasa keadilan, preferential access yang terus menerus dinikmati Liem Soei Liong, dan yang semacamnya, telah menimbulkan perlukaan di sanubari banyak orang di masyarakat yang menyaksikan betapa bagian terbesar kue hasil pembanguan hanya dinikmati segelintir orang tertentu selama puluhan tahun. Hanya karena suatu kedekatan personal dengan sang penguasa. Namun, bisa dipastikan bahkan bukan orang-orang yang terluka sanubarinya ini yang melakukan penjarahan dan perusakan rumah Liem Soei Liong di Gunung Sahari dalam rangkaian Peristiwa Mei 1998. Karena, peristiwa itu merupakan bagian dari masalah internal di tubuh kekuasaan Soeharto menjelang karam. Banyak yang menganalisa, di balik kerusuhan Mei 1998 yang beraroma rasialis, berdiri Letnan Jenderal Prabowo.
Apapun yang telah terjadi, Liem Soei Liong telah pergi meninggalkan Indonesia 1998, dan kini takkan mungkin kembali lagi. Tahun 2012, Giam Lo Ong (malaikat pencabut nyawa dalam kepercayaan China) telah menunaikan tugas penjemputan, dan kini Liem Soei Liong sudah membumi dalam artian sesungguhnya. Namun Liem Soei Liong, bagaimanapun juga telah memberi pelajaran berharga bagi para penguasa Indonesia, tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan para konglomerat. Mereka, para konglomerat, bisa terarah dengan baik untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa di bawah kepemimpinan yang baik. Sebagaimana mereka pun bisa balik ‘memimpin’ sang pemimpin yang memiliki kelemahan kepemimpinan dan kelemahan iman, dalam suatu fenomena wealth driven politic.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar