Gempar, Pengakuan Satrio Piningit
Oleh: (Y.CHANDRA MUAS)
2002-04-02 10:50:52
(Pada Bagian-II Gempar mengisahkan
perjalanan hidupnya di saat remaja yang penuh kegetiran. Walau begitu ia
mengukir prestasi yang cukup gemilang. Nasib malang masih mengikuti
Gempar sampai ke Jakarta.Di ibukota berbagai perlakuan kejam dialaminya.
Namun semua ini membuatnya tumbuh menjadi lebih tegar. Bahkan ia meraih
berbagai kesuksesan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.)
Di pagi hari Februari 1978, Gempar
menapakkan kakinya di Pelabuhan Bitung. Cuaca tenang, panas pun tidak
begitu menyengat. “Saya harus tetap ke Jakarta untuk merubah
nasib,”tekad Gempar yang hanya berbekal uang Rp 25 ribu, sementara harga
tiket kapal ke Jakarta Rp 75 ribu. Di pelabuhan kapal Pelni yang akan
ditumpanginya sedang memuat barang. Waktu itu, kapal untuk penumpang,
disatukan dengan barang.
Saat petugas lengah Gempar berhasil
menyelinap naik kapal, dengan berpura-pura sebagai anak buah kapal
(ABK). Satu setel pakaian yang terbungkus kantong plastik, diselipkannya
di pinggang celana bagian belakang. Sedang ijazah sebagai modal utama
merantau disimpannya dalam sepotong buluh (bambu) kecil, agar tidak
rusak.
Pukul 14.00 sirine kapal berbunyi,
menandakan kapal segera meninggalkan dermaga. “Hati saya bergetar,
airmata saya sempat jatuh, entahlah saya akan selamat di perjalanan.
Terbayang wajah Mami (panggilan Gempar untuk ibunya-Red), Opa, juga Oma
saya di kampung. Ketika kapal bergerak perlahan meninggalkan dermaga,
dari atas geladak, saya saksikan pengantar melambaikan tangan kepada
sanak saudaranya yang ada di kapal. Saya pun melambaikan tangan. Tapi
tidak tahu lambaian itu saya tujukan pada siapa, karena memang tidak ada
yang mengantar kepergian saya. Hati saya cuma berucap, selamat tinggal
Manado,” papar Gempar.
Tak lama kemudian lewat pengeras suara
diumumkan akan ada pemeriksaan tiket. “Jantung saya langsung berdebar,
karena menurut cerita orang-orang, penumpang gelap yang tertangkap di
kapal, akan dilempar ke laut lepas oleh ABK,” ujar Gempar.
Ia langsung bersembunyi di sebuah celah
yang terletak persis di sisi cerobong asap, posisi yang telah
ditandainya sejak siang hari. Begitu petugas pemeriksa datang, Gempar
langsung menyelinap ke celah tadi.
“Panasnya luar biasa. Andaikan lebih dari
sepuluh menit saya berada di tempat itu, saya pasti mati. Entah kenapa,
begitu petugas sampai di tempat persembunyian saya, tiba-tiba hujan
turun deras sekali, petugas itu pun pergi. Kemudian dalam keadaan basah
kuyup saya turun ke bawah. Saat itulah saya tertangkap oleh seorang ABK.
Saya katakan sejujurnya kesulitan saya. Mereka pun akhirnya iba dan
memperbolehkan saya menumpang dengan syarat saya membantu berbagai
pekerjaan di kapal. Setelah di kapal ,saya baru tahu kapal yang saya
tumpangi tujuan akhirnya Surabaya,” kata Gempar.
Setiba di Surabaya Gempar menyambung
perjalanan ke Jakarta dengan naik kereta ekonomi dari Stasiun Pasar
Semut Lagi-lagi ia menjadi penumpang gelap dengan bersembunyi di gerbong
berisi ternak sapi dan kambing. Keesokkan paginya, Gempar tiba di
Stasiun Gambir.
“Saya tercengang menyaksikan Tugu Monas
yang menjulang tinggi tidak jauh dari stasiun. Saya sarapan pagi bubur
ayam di lapangan Monas. Selanjutnya dari sana dengan naik bis saya
menuju ke rumah adik kandung ibu saya, Boy Langelo,yang tinggal di Jalan
Gandaria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ” tutur Gempar.
KE DUNIA TEATER
Sampai di sana, Boy Langelo kebetulan
sedang ada di rumah, karena waktu itu hari libur. “Sambutan Om saya
cukup bagus. Sedang isterinya menampakkan wajah tidak suka. Saya
ditempatkan di sebuah kamar kecil dan pengap. Beberapa hari di sana,
satu persatu dari tiga orang pembantunya mulai diberhentikan. Sebagai
orang yang hidup menumpang, di sana saya tahu diri. Saya kerjakan
berbagai pekerjaan yang bisa saya lakukan. Namun, karena tidak disukai
orang, lama-lama saya tidak betah juga,” papar Gempar.
Kemudian Gempar melamar masuk AKABRI yang
pendaftarannya di Kodam Jaya, Cililitan. Semua testing berhasil dia
lalui dengan baik. Namun saat test terakhir Pantukhir yang memaksanya
berjalan sambil berjongkok, Gempar menolak.
“Saya dibentak karena tidak patuh. Saya
bilang, ini bukan zaman feodal.Mereka harus memperlakukan orang dengan
wajar. Mungkin karena itu, saya tidak lulus,” ujar Gempar.
Untungnya, saat mendaftar masuk AKABRI,
ia berkenalan dengan Dolvi Lomboan seorang bintara remaja Angkatan Udara
asal Sulawesi Utara. Mendengar keluhan Gempar, Dolvi lantas mengajaknya
tinggal di asrama di Komplek Angkatan Udara Halim Perdanakusumah.
Gempar kemudian keluar dari rumah
pamannya. Biaya hidupnya sehari-hari banyak dibantu Dolvi . Ketika Dolvi
lulus masuk AKABRI dan harus berangkat ke Magelang, Gempar pun bingung
harus tinggal di mana. Untungnya ia masih menyimpan sebuah alamat
saudara ibunya, Cherry Pangalila, seorang artis tahun ’80-an yang
populer dengan sebutan Cherry Ivone tinggal di Jalan Kebun Kacang
,Jakarta Pusat.
Di rumah Cherry yang ketika masa itu
hidup menjanda, lagi-lagi memperlakukan Gempar sebagai pembantu, karena
kebetulan ketika Gempar datang, pembantunya berhenti. Mulai dari belanja
ke pasar, mencuci, menyetrika pakaian hingga membersihkan rumah,
dikerjakannya .” Lagi-lagi saya berfikir, hidup kok! dari kecil jadi
pembantu terus,” keluh Gempar.
Waktu itu Cherry sering ke Taman Ismail
Marzuki, tempat berkumpulnya para artis. Diam-diam Gempar pun sering
datang ke sana. Di sanalah lewat Dana Christina, seorang artis, Gempar
berkenalan dengan Teguh Karya. Sutradara kondang ini kemudian memberi
kesempatan pada Gempar menjadi figuran dalam film “Darah Daging” dan
“Pengemis dan Tukang Becak”.
Dunia artis ternyata kurang pas bagi
Gempar, sehingga ia mengundurkan diri. Suatu hari, tanpa sebab yang
jelas, mungkin karena Gempar lalai dengan tugas sehari-hari di rumah,
Cherry mengusirnya.” Pakaian saya dibuang ke bak sampah di depan rumah.
Pintu pagar pun digembok. Saya tidak boleh masuk.
Dalam keadaan hujan lebat sore itu, saya
bingung harus ke mana. Akhirnya saya naik bis menuju rumah Om Boy
Langelo. Ternyata paman sekeluarga sudah pindah. Rumah itu kosong. Saat
itulah saya ditegur Pak Anwar, tukang buah yang berjualan persis di
samping pintu masuk rumah paman saya.”
Tukang buah itu menawari Gempar untuk
tinggal di rumahnya, tepat di pinggiran Sungai Gandaria, yang membelah
Kebayoran ,Jakarta Selatan. Seminggu tinggal dengan keluarga Anwar,
Gempar ikut pedagang buah itu berbelanja ke Pasar Induk Kramat Jati,
Jakarta Timur. Ketika Anwar diperlakukan kasar oleh para preman pasar,
spontan emosi Gempar meluap. Gempar pun langsung dikeroyok.
“Saya tidak tahu, berapa orang yang saya
lawan, yang jelas, saya berhasil merampas salah satu golok mereka dan
nyaris menghabisi salah seorang.diantara mereka. Sejak itulah, mereka
menganggap saya jagoan. Setiap kali saya datang, mereka memberi uang
upeti atau setoran. Lama-lama uang dari hasil begitu bertentangan dengan
hati nurani saya, sehingga pekerjaan itu saya tinggalkan dan saya tidak
pernah muncul lagi di pasar” ujar Gempar.
MERENTAS JALAN POLITIK
Suatu hari Gempar memberanikan diri
melamar pekerjaan di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan di Jl
Gandaria Tengah, Kebayoran Baru. “Karena sama-sama orang Manado, saya
langsung menghadap Om Alex. Saya mohon bantuannya untuk mempekerjakan
saya sebagai apa saja .Jadi tukang sapu pun tak apa. Akhirnya saya
diterima sebagai juru ketik. Gajinya lumayan, bisa untuk hidup mandiri
dan menyewa sebuah kamar di kawasan Radio Dalam, dekat tempat saya
bekerja,” kata Gempar.
Tahun 1985, Gempar direkomendir oleh
Notaris Alex untuk kuliah. Tanpa hambatan, ia berhasil masuk Program
Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kuliah yang berlangsung
dari sore hingga malam ini, kebanyakkan mahasiswanya telah bekerja.
Di Kampus, Gempar cukup dikenal. Selain
berwajah mirip Soekarno, sebagaimana sering diolok-olok temannya, ia pun
supel dan pandai bergaul. Terbukti, mulai dari Satpam di Fakultas Hukum
sampai para dosen senior, kenal padanya. Di samping itu, Gempar pernah
menjadi Ketua Senat Ekstensi dan aktif dalam pergerakan mahasiswa
lainnya.
Sayang, karena dia kuliah sambil bekerja,
membuat masa kuliahnya cukup lama.Ia pun masih sempat memotori
pergerakan mahasiswa UI bersama mahasiswa dari universitas lainnya saat
aksi Reformasi tahun 1998 berdemontrasi ke Gedung DPR / MPR.
“Sebagai aktivis, waktu itu saya nyaris
diculik. Mobil saya sempat dibayang-bayangi orang selama berhari-hari.
Bahkan aktivitas sayapun selalu dibuntuti orang yang tidak dikenal,”
ungkap Gempar.
Saat itulah namanya mulai muncul.
Berbagai koran dan media terkemuka ibukota sering menampilkan sosoknya.
Bahkan ia acap pula berorasi di berbagai forum bersama para tokoh
terkenal. Di antaranya Rendra, Almarhum Dono Warkop (dosen Fisip UI),
Hariman Siregar, Hariadi Darmawan, Roh Basuki dan Adnan Buyung Nasution .
RAHASIA DIBUKA
Menggali ilmu hukum di kampus diiringi
praktek karja lapangan sesuai tugasnya di kantor notaris, membuat Gempar
begitu matang dalam bidang hukum. Tidak saja di bidang kenotariatan,
tetapi juga di bidang kepengacaraan. Terbukti, tahun 1985, walau belum
bergelar Sarjana Hukum, dia sudah ditarik sebagai Legal Manager oleh PT.
Toshiba Indonesia.
Selanjutnya meningkat sebagai Kuasa
Direktur di PT Gemini Electrik Hitachi. Ia kemudian diangkat pula
sebagai Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia, sekaligus sebagai
Legal Konsultan pada Hitachi, Toshiba, ITT, Grundig dan beberapa
perusahaan lainnya. Tidak hanya itu, ia dipercaya pula sebagai penasehat
hukum di TMS Bank dan Tifa Bank.
Sejak dipercaya sebagai konsultan hukum
inilah, kehidupan Gempar berubah seratus persen, ibarat siang dan malam.
Kini selain punya beberapa rumah di Jakarta, ia pun punya dua mobil
yang cukup berkelas, Mercedes Benz dan Hyundai tahun terakhir.
Seringnya Gempar muncul di berbagai
televisi saat pelengseran rezim Orde Baru tempo hari, membuat ibunya
yang menonton acara tersebut di Manado ketar ketir. Spontan, di
penghujung tahun 1998, ibunya menyuruh Gempar pulang ke Manado. Karena
kesibukan kerja, Gempar baru bisa pulang, Februari 1999. Begitu masuk ke
rumahnya, Gempar terkejut, menyaksikan foto-foto Bung Karno dan ibunya
terpajang di ruang tamu. “Ada apa ini ?” tanya Gempar. Sang ibu diam
saja, bahkan menoleh pun tidak.
Pertanyaan itu dilontarkan Gempar hampir 3
kali. Ibunya tetap bungkam. Hingga akhirnya habis makan malam, sang ibu
memanggil anaknya ke beranda depan. Di sanalah ibunya langsung bicara:
“Kamu adalah anak Bung Karno.”
Spontan Gempar mencubiti tangan, pipi dan
bagian lain badannya untuk memastikan ia dalam keadaan sadar, tidak
bermimpi.” Saya goyang-goyang tubuh Mami, memastikan Mami dalam keadaan
sadar,” ungkap Gempar. “Mami sadar,” ujar ibunya sambil membuka dokumen
asli pernikahannya dengan Bung Karno yang disimpannya dalam sebuah kopor
besi selama puluhan tahun.
Peristiwa ini membuat Gempar tak bisa
tidur semalaman. Pikirannya menerawang, “Apakah benar saya anak Bung
Karno ?” tanyanya. Sejak itulah ia menelusuri kebenaran nya dengan
bertanya kepada orang-orang tua di sekitar tempat tinggal keluarganya di
Manado. Hampir semuanya membenarkan. Ketika dia tanya kepada ibunya
kenapa tidak diberi tahu dari dulu ?
Sang ibu menjawab, “Kalau Mami buka
cerita ini sejak dulu, apakah kamu akan berumur panjang ? Amanat
Bapakmu, anak siapa kamu sebenarnya, akan diberitahu, kalau kamu sudah
berumur 40 tahun atau kamu sudah matang dalam politik. Kinilah saatnya
hal ini Mami buka,” ujar sang ibu sambil membuka selembar surat dengan
tulisan tangan Bung Karno, yang memberi nama anaknya: Muhammad
Fatahillah Gempar Soekarno Putra.
Sepulangnya ke Jakarta, Gempar langsung
ke makam ayahnya di Blitar, Jawa Timur. Seperti mendapat bimbingan
batin, dari Blitar, Gempar Ke Yogyakarta, tepatnya ke pemakaman para
Sultan di Imogiri. Di sinilah dia mendengar bisikan gaib yang dia
sendiri tidak tahu sumbernya dari mana, membuat dia begitu merinding.
“Sebagai Satrio Piningit, kamu harus berlaku adil terhadap rakyat,”
tutur Gempar mengingat peristiwa itu.
Atas bimbingan seorang kiyai, di sanalah
Gempar mengucapkan dua kalimah syahadat, yang artinya, dia resmi memeluk
agama Islam. Hal itu segera dia laporkan pada ibunya di Manado. “Mami
ikhlas dan merestui saya jadi Muslim. Bahkan menasehati, agar saya
menjadi Muslim yang baik, sebagaimana amanat Bapak,” ucap Gempar.
Sumber: www.kartini-online.com