Oleh: Dr. Saafroedin Bahar (L, 71
th, kini sedang di San Ramon, California, USA – Staf Pengajar Prodi
Ketahanan Nasional Sekolah Pasca Sarjana UGM)
Saya sangat senang memperhatikan bahwa
akhir-akhir ini terdapat peningkatan minat secara terbuka terhadap
sejarah pemberontakan PRRI, khususnya dalam kaitannya dengan sejarah
daerah Sumatera Barat serta sejarah suku bangsa Minangkabau. Di Rantau
Net ini demikian banyak postings dari para netters mengenai aspek-aspek
tertentu PRRI, baik mengenai pengalaman pribadi dari beliau-beliau yang
pernah ikut terlibat, maupun berbagai interpretasi dan rasionalisasi
terhadap pemberontakan tersebut.. Dalam rangka peluncuran dua buah buku
yang memuat himpunan tulisan wartawan Suwardi Idris tentang pengalaman
beliau mengikuti PRRI di daerah Solok, beberapa waktu yang lalu
bertempat di Studio TVRI Padang telah diadakan talkshow mengenai PRRI
ini, yang diikuti oleh beberapa tokoh Sumatera Barat, antara lain
budayawan senior Wiswan Hadi, wartawan senior Basril Djabbar, sejarawan
Dr Gusti Asnan. Talkshow tersebut ditayangkan ulang di TVRI Pusat. Dari
Ibu Warni Darwis, Wakil Sekjen Gebu Minang, saya mendapat khabar bahwa
Bp Abdul Samad, seorang tokoh pejuang PDRI dari Bukittinggi, yang juga
ikut pemberontakan PRRI, baru-baru ini tampil di TVRI Pusat menjelaskan
pengalaman beliau dalam PRRI tersebut.
Saya menganggap peningkatan minat
terhadap sejarah PRRI ini baik dan wajar. Memang sudah waktunya sejarah
PRRI ini dibedah secara mendasar dan mendalam. Saya pernah mengkuti
pembahasan masalah PRRI ini — sebagai pembicara bersama Kolonel Pur.
Ventje Sumual — di kampus Universitas Indonesia, Depok, dan di The
Habibie Center, Jakarta. Minggu lalu, di Apartemen #2724 Pomontory
Circle di San Ramon, Cal, USA, saya berbincang-bincang semalam suntuk
dengan Inyiak Sunguik Sjamsir Syarif yang telah menjalani hampir seluruh
Sumatera Barat sewaktu mengikuti pemberontakan PRRI ini sebagai orang
dekat dengan Bp Mohammad Natsir. Saya sungguh-sungguh mendorong beliau
untuk menuliskan pengalaman beliau tersebut agar dapat dibaca oleh
generasi demi generasi bangsa Indonesia pada umumnya dan suku bangsa
Minangkabau pada khususnya.
Sungguh menarik untuk diperhatikan, bahwa
walaupun cakupan aksinya pada taraf awal juga meliputi daerah-daerah
Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, serta terkait erat dengan
pemberontakan Permesta yang meliputi daerah Sulawesi Utara – namun
memang hanya di daerah Sumatera Barat dan terhadap suku bangsa
Minangkabau saja dampak kekalahan pemberontakanPRRI ini demikian
mendalam. Tidak berkelebihan kiranya jika dikatakan bahwa walaupun
pemberontakan PRRI terutama berkenaan dengan masalah politik, yaitu
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam rangka proses panjang
integrasi nasional di Indonesia, namun masyarakat Minangkabau
memandangnya lebih dari itu, yaitu dari perspektif sosio kultural,
dengan akibat yang lebih parah, yaitu sampai patah semangat dan
berlarut-larut sampai sekarang. . Saya tidak melihat dampak yang sama
pada suku bangsa Batak atau suku bangsa Menado yang juga terlibat dalam
pemberontakan yang sama.
Sekedar sebagai catatan dapat saya
sampaikan bahwa gejala patah semangat berlarut-larut setelah kalah
perang ini sama sekali bukanlah gejala baru. Seperti ditulis Kolonel
KNIL Soegondo, komando tentara kolonial Hindia Belanda telah mencatat
gejala yang sama sewaktu menghadapi Perang Paderi , 1821-1838. Dengan
kata lain, gejala patah semangat secara berlarut setelah kalah perang
itu adalah refleksi dari masalah kultural yang lebih mendasar. Dalam
pengamatan saya secara pribadi, gejala patah semangat tersebut
merupakan wujud dari kelemahan mendasar dari tatanan sosial
Minangkabau, yang kelihatannya tidak dirancang untuk bersatu, tetapi
untuk hidup dalam komunitas kecil-kecil yang saling curiga satu sama
lain. Mungkin sekali, gejala patah semangat itu timbul karena tidak
yakin akan dibela oleh sanak saudaranya yang lain. [Sangat mirip dengan
tatanan sosial dan reaksi orang Arab setelah kalah perang]. Demikianlah,
Inyiak Sunguik Syamsir Sjarief menjelaskan bahwa yang paling kejam
terhadap PRRI bukanlah ‘tentara Soekarno’ tetapi justru urang awak yang
jadi ‘tukang tunjuk’ dan yang menjadi anggota Organisasi Perlawanan
Rakyat (OPR). Saya tahu bahwa yang menjadi anggota OPR ini pada umumnya
adalah para preman yang menjadi anggota Pemuda Rakyat, onderbouw Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang digunakan oleh Kodam III/17 Agustus untuk
menghadapi pemberontakan PRRI.
Sudah barang tentu secara pribadi saya
merasa sangat tertarik untuk mendalami dimensi-dimensi sosio kultural,
sosial politik, serta strategi dan taktik militer dari pemberontakan
PRRI ini, bukan saja oleh karena saya ditakdirkan lahir dan menjadi
dewasa sebagai seorang warga suku bangsa Minangkabau, tetapi juga oleh
karena latar belakang pendidikan saya dalam ilmu pemerintahan di
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan karena karir saya sebagai
perwira TNI-Angkatan Darat, yang selama 16 tahun berturut-turut berdinas
di daerah Kodam III/17 Agustus, yang mencakup daerah Sumatera Barat dan
Riau (1960-1976). Dapat saya sampaikan bahwa saya menyaksikan dari
dekat betapa besar perubahan yang dialami daerah Sumatera Barat antara
suasana aman tentram sebelum pecahnya pemberontakan PRRI, yaitu pada
tahun 1957 sewaktu saya pulang libur sebagai mahasiswa Universitas
Gadjah Mada, dan suasana pasca PRRI, antara tahun 1960-1976, sewaktu
saya bertugas sebagai perwira staf Kodam III/17 Agustus di daerah
Sumatera Barat dan Riau.
Demikianlah, untuk memenuhi rasa
keingintahuan saya tersebut, selama sembilan tahun antara tahun
1987-1996 – di sela-sela kesibukan saya sebagai Tenaga Ahli Lemhannas (
1983-1989) dan sebagai Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara (1989-1999) —
saya mengadakan penelitian untuk menyusun disertasi mengenai
pemberontakan PRRI ini dan mempertahankannya di depan Rapat Terbuka
Senat Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 25 Agustus 1996,
12 tahun yang lalu. Sebagai saksi sejarah dan sebagai sebuah skrup
kecil dalam operasi teritorial pada tahap pasca PRRI, saya sama sekali
tidak mempunyai kesukaran dalam mengumpulkan fakta dan data sejarah
pemberontakan PRRI serta penumpasannya. Yang jauh lebih sulit adalah
mencari rujukan teori dan pendekatan ilmiah yang tepat untuk
menjelaskannya. Mengingat demikian banyaknya aspek pemberontakan PRRI
ini, adalah jelas bahwa jika kita benar-benar hendak memahami dan
memperoleh eksplanasi terhadap pemberontakan PRRI ini, diperlukan suatu
pendekatan yang bersifat holistik, bukan pendekatan yang
sepotong-sepotong.
Suatu dimensi lain yang layak untuk kita
dalami mengenai pemberontakan PRRI ini adalah dimensi hubungan
internasionalnya, khususnya peranan Central Intelligence Agency (CIA)
Amerika Serikat, yang telah diungkap secara amat jelas dalam buku
Subversion as Foreign Policy oleh suami isteri George McTurnan Kahin dan
Audrey Kahin. Saya percaya bahwa bahwa penggalangan intelijen oleh CIA
ini – selain oleh karena kurangnya visi strategis oleh para tokoh KDMST —
merupakan salah satu faktor penting pecahnya pemberontakan dan
kekalahan PRRI ini. Sukar untuk dibantah, bahwa berbaliknya sikap
Amerika Serikat dari mendukung PRRI menjadi mendukung Presiden Soekarno
dan TNI juga merupakan faktor penting kekalahan PRRI, dengan segala
akibat sosio kulturalnya pada warga suku bangsa Minangkabau..
Lagi pula jangan dilupakan suatu akibat
tidak langsung dari pemberontakan PRRI ini, yaitu dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, lahirnya Demokrasi Terpimpin, serta berkembangnya
PKI, yang kemudian berujung pada rencana kudeta Gerakan 30
September/PKI.
Dengan kata lain, pemberontakan PRRI
memang layak didalami, bersisian dengan peristiwa-peristiwa besar
nasional lainnya. Juga jangan dilupakan bahwaoleh karena terhadap
rencana kudeta Gerakan 30 September/PKI saja sudah berkali-kali didakan
seminar, lokakarya, atau sekedar pertemuan, tidak ada alasan mengapa
terhadap pemberontakan PRRI ini tidak ada pengkajian serupa.
Hanya ada suatu catatan kecil yang perrlu
saya sampaikan, yaitu kecenderungan para sanak kita di Sumatera Barat
yang lazim mereduksi peristiwa-peristiwa sejarah nasional yang terjadi
di Sumatera Barat menjadi sejarah Sumatera Barat belaka. Lebih kecil
lagi, sebagai sekedar sejarah pribadi-pribadi belaka. Saya melihat
gejala tersebut sewaktu mengikuti pembahasan tentang sejarah Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI). Oleh karena itu, tidak bosan-bosannya
saya mengingatkan bahwa PDRI adalah suatu institusi nasional dan
sejarah PDRI adalah bagian dari sejarah nasional. Kali ini saya ingin
mengingatkan para sanak semua, bahwa sejarah PRRI adalah bagian dari
sejarah nasional, dan dengan merujuk pada buku suami isteri Kahin,
sejarah PRRI adalah juga bagian dari sejarah internasional Perang Dingin
antara Blok Amerika Serikat dengan Blok Uni Soviet.
Kalau begitu, sambil mendorong Inyiak
Sunguik Sjamsir Sjarief dan para sanak lainnya untuk menulis pengalaman
lapangan masing-masing sewaktu pemberontakan PRRI, apa tak perlu
diselenggarakan suatu Seminar Internasional tentang Pemberontakan PRRI ?
Bagaimana kalau kita dorong Dewan Perwakilan Daerah RI, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) , Arsip Nasional RI, Departemen Pertahanan
serta Markas Besar TNI-Angkatan Darat, Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, Lembaga Ketahanan Nasional, Pusat Sejarah TNI, Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI), Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD),
tokoh-tokoh sejarah masyarakat Batak dan Menado, termasuk Kolonel Pur
Ventje Sumual, dan tokoh senior sejarawan Prof Dr Taufik Abdullah , Prof
Dr Salim Said, Prof. Dr RZ Leirissa, serta Dr Audrey Kahin untuk
membahas pemberontakan PRRI ini secara holistik ?
Sumber: Milis Rantau Net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar