Oleh: R Ferdian Andi R
Nasional - Sabtu, 7 April 2012 | 07:01 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Tepat sepekan hiruk pikuk soal posisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di koalisi mencuat ke publik. Partai Demokrat dan partai koalisi beramai-ramai mendesak PKS didepak dari koalisi. Upaya menggergaji hak prerogatif presiden?
Salah satu pengurus DPP PKS dengan nada berseloroh berkirim pesan Blackberry kepada INILAH.COM, Jumat (6/4/2012) ihwal hiruk-pikuk yang mengemuka belakangan. Menurut dia, posisi PKS saat ini sangat tergantung dengan sikap Presiden SBY.
"Tapi Pak SBY lagi sakit gigi, belum bisa ngomong," tulis pengurus DPP PKS yang enggan disebutkan namanya itu. Jelas itu nada sindiran yang ditujukan kepada Ketua Setgab Koalisi yang notabene Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bola kini persis di depan SBY sebagai Presiden dalam konteks sistem presidensiil. Mereposisi menteri yang didukung oleh PKS jelas merupakan praktik ketatanegaraan. Karena satu-satunya yang memiliki peran menggeser atau mengganti menteri di kabinet sebagaimana diatur dalam konstitusi tak lain adalah Presiden.
Namun secara telanjang, aktivitas politik Presiden SBY yang notabene Ketua Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi dengan mengundang pimpinan partai koalisi minus PKS tak lain merupakan upaya pembonsaian hak yang dimiliki oleh Presiden yakni hak prerogatif yang diatur secara jelas dalam konstitusi.
Karena dalam pertemuan tersebut berisi kesepakatan untuk mendepak PKS dari koalisi. Lebih dari itu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie diberi mandat untuk mengumumkan pendepakan PKS dari koalisi. "Pak Ical diberi mandat Pak SBY untuk itu," ujar sumber INILAH.COM yang juga pimpinan partai koalisi.
Persoalannya, apakah pendepakan PKS dari koalisi dapat diartikan dengan pencopotan menteri yang didukung PKS seperti Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suwono, dan Menteri Sosial Salim Jufri Assegaf? Itu yang tidak jelas hingga kini.
Pengamat hukum tata negara Irman Putra Sidin menilai tidak ada korelasi antara pendepakan PKS dari koalisi akan secara otomatis menteri yang diusung PKS juga bakal dicopot dari kabinet. "Ketika PKS didepak dari koalisi itu tidak otomatis Presiden mendepak menteri yang di-endorse oleh PKS," kata Irman melalui saluran telepon di Jakarta, Jumat (6/4/2012).
Dia menuturkan sungguh berbahaya bila pendepakan PKS diartikan dengan pencopotan menteri di kabinet. Praktik demikian, sambung Irman, justru menampilkan Presiden SBY tengah dijajah oleh partai politik koalisi. "Kalau itu terjadi, presiden tengah dijajah hak prerogatifnya. Ini berbahaya dalam konstitusionalitas kita," terang Irman.
Lebih lanjut Irman menyebutkan sah-sah saja SBY sebagai Ketua Setgab Koalisi bertemu dengan pimpinan partai koalisi. Hanya saja, Irman mengingatkan Presiden SBY tidak bisa menyerahkan harga dirinya dan martabatnya sebagai presiden kepada pimpinan partai politik tertentu atau partai koalisi. "Karena itu bisa merusak sistem presidensial yang berlaku. Dan itu bisa dipermasalahkan," imbuh Irman.
Dalam kode etik koalisi yang diteken enam pimpinan partai koalisi yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB serta Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono di poin enam disebutkan ihwal pergantian personil kabinet.
"Dalam hal presiden melakukan reshuffle kabinet sesuai dengan urgensi dan prerogatifnya, presiden dapat melakukan pergantian personil, perubahan portofolio, dan bahkan apabila sangat diperlukan melakukan pengurangan/penambahan jumlah menteri parpol dalam kabinet,"
Namun, di poin itu juga disebutkan jika Presiden mengambil keputusan pergantian atau penambahan jumlah menteri yang berasal dari partai koalisi yang merupakan hak prerogatifnya, Presiden juga mempertimbangkan, a) evaluasi kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang didasarkan pada kontrak kinerja dan pakta integritas; b) efektivitas dan soliditas KIB II; c) masukan partai politik koalisi atas permintaan presiden sebelum keputusan presiden diambil" demikian salah satu poin kode etik koalisi yang diteken Mei 2011 lalu itu.
Hiruk-pikuk yang mengemuka ke publik terkait dengan posisi PKS dalam koalisi, termasuk menteri-menterinya, tak lain sebagai upaya berbagi hak prerogatif presiden kepada partai koalisi. Memang, urusan koalisi adalah urusan politik praktis. Namun jika menyangkut posisi menteri jelas itu urusan Presiden, tak bisa dibagi apalagi dijajakan kepada lainnya. Dulu, kini, dan nanti urusan menteri adalah urusan Presiden. Bukan yang lain. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar