In Historia, Politik on June 3, 2012 at 1:44 AM
Disamping itu, kenyataan objektif yang dipersepsikan sehari-hari
melalui pergulatan hidup di tengah-tengah masyarakat, pergelutan dengan
pengalaman hidup sehari-hari, diperkaya dengan observasi, analisa dan
diskusi sebagai tradisi alam kehidupan kampus, mau tidak mau menimbulkan
pula suatu keinginan untuk memperbaiki keadaan-keadaan yang menyimpang
itu sebagai masukan bagi kalangan berwenang melalui forum dan media yang
memungkinkan untuk itu. Sayangnya, pemerintah Orde Soeharto zaman itu
pada hampir seluruh tingkatan jajarannya sudah mulai menutup komunikasi
bagi kemungkinan memandang hal-hal semacam itu sebagai masukan untuk
melakukan perbaikan keadaan. Masukan semacam itu dengan segera dianggap
sebagai kritik yang tidak membangun, dianggap tidak berpartisipasi dalam
pembangunan, oposisi yang tidak bertanggung jawab, bahkan mulai
dipojokkan sebagai usaha menentang kepemimpinan Orde Baru. Usaha-usaha
ini dengan serta merta pula diikuti oleh operasi intelejen yang disusul
operasi militer untuk memerangi musuh-musuh Orde Soeharto. Dialog
menjadi suatu keniscayaan sehingga komunikasi dua arah tidak lagi
terjadi. Pemerintahan Orde Soeharto berikut seluruh jajaran ordenya
mulai melihat kegiatan kemahasiswaan sebagai kegiatan yang harus
ditumpas berikutnya setelah kekuatan PKI dan G30Snya. Dengan demikian
tokoh- (sociopolitica's blog)
Hatta Albanik*
PADA mulanya mereka masih mampu menahan diri tidak melibatkan diri
dalam ‘kegiatan politik’ untuk merespon hal itu. Respon lebih banyak
dilakukan oleh kalangan non-kampus melalui cara-cara bergaya mahasiswa
Angkatan 66: aksi demonstrasi, publikasi dan lain sebagainya. Mereka
belum mau bereaksi dengan modus semacam itu. Terus berusaha menemukan
modus dan cara lain dari yang berbau 1966 itu. Tetapi belum sempat
mereka menemukan modus dan cara yang ‘sreg’, mereka dipaksa
harus segera bereaksi, karena dengan cepatnya para penguasa telah
menjadikan mereka sebagai sasaran langsung dari perilaku
‘mabuk-kekuasaan’nya tentara, yang selalu memerlukan ‘musuh’ baru untuk
ditempatkan sebagai lawan yang harus dienyahkan.
KARIKATUR
MENYAMBUT NAIKNYA JENDERAL SOEHARTO KE TAMPUK KEKUASAAN. “Pemerintahan
Orde Soeharto berikut seluruh jajaran ordenya mulai melihat kegiatan
kemahasiswaan sebagai kegiatan yang harus ditumpas berikutnya setelah
kekuatan PKI dan G30Snya”. (Karikatur Harjadi S, 1967).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar