Beberapa waktu lalu, Pemerintah Amerika Serikat (AS) mencapai kesepakatan dengan para kreditornya yaitu Rusia, Jepang, dan China, terkait utang sebesar US$ 14.3 trilyun yang sebagian diantaranya jatuh tempo pada 2 Agustus 2011. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, AS tidak membayar utang yang jatuh tempo tersebut menggunakan uang tunai, melainkan menggunakan utang lagi, yaitu sebesar US$ 2.1 trilyun.
Utang baru sebesar US$ 2.1 trilyun tersebut akan jatuh dalam 10 tahun ke depan, dan akan dibayar menggunakan uang sebesar US$ 2.4 trilyun yang diperoleh dari penghematan anggaran belanja negara. Dengan asumsi bahwa AS mampu menghemat pengeluaran, maka utang tersebut akan lunas sepuluh tahun mendatang. Namun kalau belajar dari pengalaman, biasanya nantinya utang tersebut akan diperpanjang lagi, entah sampai kapan. Jika utang tersebut kita ibaratkan sebagai bom waktu, maka bom tersebut tidak pernah dijinakkan, melainkan hanya ditunda waktu meledaknya.
Pertanyaannya, apakah di masa lalu ‘bom’ seperti itu pernah meledak? Dan ketika itu terjadi, apa yang terjadi selanjutnya?
Keberhasilan AS menjadi negara adidaya pada saat ini, salah satunya adalah karena gencarnya kegiatan percepatan pembangunan, dengan mengandalkan utang. Namun di masa lalu, Amerika Serikat pernah beberapa kali gagal dalam membayar utang, baik utang pemerintahnya maupun akumulasi dari utang-utang warganya, yang berlanjut pada krisis finansial besar-besaran. Oke, mari kita runut sejarahnya.
Krisis pertama di AS terjadi pada tahun 1819, yang dikenal sebagai ‘Panic of 1819’. Krisis tersebut merupakan akhir dari ekpansi ekonomi besar-besaran yang terjadi di seluruh penjuru negeri, setelah AS memenangkan perang melawan Inggris pada tahun 1812. Pasca perang, didukung oleh kondisi politik yang kondusif, para bank lokal mulai memberikan pinjaman kepada para pekerja, pengusaha, dan siapapun yang hendak membangun rumah, tempat usaha, dan sebagainya. Ekonomi pun berkembang pesat. Namun masyarakat AS ketika itu lupa bahwa Pemerintah AS juga berhutang ke bank lokal untuk membiayai perangnya. Ketika kegiatan perekonomian mulai berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan, yang dimulai dari menurunnya permintaan Eropa akan impor bahan makanan dari AS, maka ketika itulah para pengusaha mulai gagal membayar utangnya ke bank. Pemerintah AS sendiri tidak bisa menutupi utang-utang warganya, karena dia sendiri juga punya utang segunung. Alhasil, AS mengalami krisis ekonomi pertamanya, dimana puluhan bank terpaksa tutup, pengangguran merebak dimana-mana, dan ratusan orang dipenjara karena tidak mampu membayar utangnya.
Krisis selanjutnya terjadi pada tahun 1857, yang lagi-lagi diawali oleh ekspansi para bank dalam mengucurkan utang. Ketika itu, ekspor bahan makanan dan hasil bumi dari pantai timur AS (New York dan sekitarnya) ke Eropa mulai kembali menurun, sehingga banyak warga AS yang tinggal di pesisir timur berpindah ke barat (California dan sekitarnya) untuk mencari penghidupan baru. Mereka menggunakan kereta api untuk perjalanan. Alhasil bisnis jasa transportasi kereta api meraup untung besar, dan mendorong para bank untuk mengucurkan kredit ke perusahaan-perusahaan kereta api. Krisis ekonomi dimulai ketika para warga AS, yang sebagian besar merupakan petani, menemukan bahwa lahan di barat ternyata gersang dan tidak bisa dipakai untuk bercocok tanam, sehingga selanjutnya tidak ada lagi orang yang bepergian ke barat. Ketika perusahaan kereta api tidak lagi memperoleh penumpang, maka mereka satu per satu mulai bangkrut, dan ikut menyeret bank yang memberi mereka pinjaman. Puncak dari krisis tahun 1857 ini terjadi ketika salah satu perusahaan asuransi terbesar di AS kala itu, Ohio Life Insurance, mengalami gagal bayar sebesar US$ 7 juta dan bangkrut, nilai yang sangat besar untuk ukuran saat itu.
Krisis ketiga terjadi pada tahun 1930-an, yang dikenal dengan ‘Great Depression’. Penyebabnya masih sama: utang. Pada krisis kali ini, utang tersebut mulai melibatkan pasar modal. Diawali dari kejatuhan pasar modal Wall Street pada bulan Oktober 1929, AS dirundung krisis ekonomi besar yang baru bisa pulih sekitar sepuluh tahun kemudian. Itupun berkat Perang Dunia II, dimana ekonomi AS ketika itu mulai bergerak kembali karena banyak perusahaan menerima pesanan senjata dan pesawat terbang dari negara-negara di Eropa.
Penyebab dari kejatuhan Wall Street tersebut tak lain adalah karena pasar modal AS mengalami bubble yang sangat parah sebelumnya. Sebelum terjadinya crash, saham-saham di Wall Street terus saja naik dengan cepat, hingga rata-rata PER pada saham-saham di indeks Standard & Poor’s sempat mencapai 32.6 kali, sangat mahal! Kenaikan harga saham yang terlalu cepat tersebut didorong oleh aksi sekuritas dan bank, yang memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepada para investor dan trader, untuk terus membeli saham, termasuk dengan cara short selling. Ketika orang-orang mulai sadar bahwa harga-harga saham sudah terlalu mahal, maka mereka langsung menjual sahamnya, dan diikuti oleh para pelaku pasar lainnya yang panik, sehingga Wall Street langsung anjlok. Indeks saham paling terkemuka di AS, Dow Jones, terus saja turun hingga tahun 1932. Pada saat itu, Dow telah turun ke posisi 41.22, atau 89% lebih rendah dibanding posisi sebelum krisis.
Setelah ‘Great Depression’, hingga saat ini AS belum pernah mengalami krisis besar lagi. Dow memang sempat beberapa kali mengalami koreksi besar, termasuk pada tahun 2008 lalu, yang biasanya juga disebabkan oleh bubble. Namun koreksi-koreksi tersebut tidak pernah sampai separah koreksi yang terjadi pada tahun 1930. Sayangnya seolah tidak mau belajar dari pengalaman, AS kemudian berhutang lagi. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir utang tersebut terus saja meningkat. Pada tahun 2005 lalu, utang AS ‘hanya’ US$ 7.9 trilyun, sebelum kemudian menjadi US$ 14.3 trilyun pada saat ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ketika Indonesia mengalami krisis pada tahun 1998 dan 2008, penyebabnya juga utang. Pada 1998, para pengusaha yang memiliki utang dalam mata uang US$ mendadak tidak mampu melunasi kewajibannya, karena utang mereka tiba-tiba membengkak, yang disebabkan oleh pelemahan kurs Rupiah terhadap Dollar. Beberapa orang mengatakan bahwa krisis 1998 sebenarnya diciptakan oleh AS, yang dengan sengaja mempermainkan mata uang Asia, termasuk Rupiah, agar Indonesia menjadi berhutang kepada International Monetary Fund (IMF). Sebab para pengusaha Indonesia seharusnya masih mampu membayar utangnya andai kata Rupiah tidak melemah terhadap US$.
Sementara pada tahun 2008, yang punya utang adalah warga AS, yaitu utang untuk kredit perumahan, bukan Indonesia. Sedangkan kondisi ekonomi Indonesia ketika itu relatif baik-baik saja. Makanya krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 2008 tidak separah krisis yang terjadi pada tahun 1998. Pada tahun 2008, IHSG ‘hanya’ turun hingga setengahnya, sebelum kemudian menguat kembali dan mencapai posisi pada saat ini.
Dari rentetan kejadian diatas, maka kita bisa mengambil beberapa kesimpulan:
1. Krisis ekonomi biasanya diawali dari pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat, yang bahkan terkadang diiringi dengan euforia. Padahal pertumbuhan tersebut tidak ditopang oleh sektor riil dan makro fundamental. Jarang terjadi sebuah krisis tanpa diawali oleh kondisi finansial yang super-kondusif terlebih dahulu.
2. Ekspektasi alias harapan yang berlebihan akan pendapatan yang besar di masa depan, hanya akan berakhir pada kejatuhan. Ketika bank meminjamkan uang ke para perusahaan kereta api, para bank ini berpikir bahwa perusahaan kereta api tersebut akan terus saja mencetak laba setiap tahunnya. Mereka kurang mempertimbangkan resiko-resiko tertentu yang bisa saja meyebabkan perusahaan kereta api tersebut bangkrut. So, be reasonable!
3. Sejarah membuktikan bahwa utang adalah biang kerok dari krisis. Memang, mengambil utang ke bank ataupun lembaga keuangan lainnya adalah baik, jika diiringi dengan pertimbangan yang matang. Namun diluar itu, maka utang yang anda pegang justru akan menjadi bom waktu.
4. Setiap kenaikan harga saham yang terlalu tinggi hingga bubble, hampir pasti akan berakhir dengan koreksi besar-besaran, yang itu artinya berhati-hatilah setiap kali IHSG naik terlalu cepat.
5. Meski demikian, koreksi tersebut akan berhenti ketika harga-harga saham sudah kembali murah, sehingga itulah saatnya untuk belanja saham kembali, karena pada dasarnya indeks saham akan terus naik dari waktu ke waktu. Ketika terjadi Great Depression, Dow Jones berada di posisi 41. Sementara ketika artikel ini ditulis, Dow sudah berada di posisi 12,132, atau telah menguat sekitar 300 kali lipat dalam waktu 80 tahun. Kecuali dunia kiamat pada 2012 nanti, rasa-rasanya tidak mungkin Dow bisa anjlok ke posisi 41 kembali.
Balik lagi ke masalah utang AS. Kira-kira apa yang akan terjadi pada perekonomian dunia seandainya AS benar-benar mengalami default? Jawabannya tentu saja akan terjadi krisis, dan harga-harga saham di seluruh dunia akan jatuh. Dan sayangnya, kita tidak akan bisa menghindarinya seandainya itu terjadi. Namun seperti yang sudah disebutkan diatas, yang namanya krisis tidak akan terjadi selamanya, dan hanya soal waktu saja sebelum keadaan menjadi normal kembali. Kabar baiknya kalau berdasarkan sejarah, krisis seperti itu jarang terjadi. Paling sering hanya setiap 10 tahun sekali. Mengingat Mr. Obama berhasil menunda waktu ledakan dari ‘bom’ yang dia pegang hingga 10 tahun ke depan, maka untuk saat ini bolehlah kita bersantai sejenak, kecuali jika nanti ada perkembangan baru soal utang Amerika ini. Sumber: (teguhidx.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar