Minggu, 01 Januari 2012

Suaro hati - Menguak Sukma Surya Paloh

mampus.wordpress.com
Yayasan Sukma didirikan Surya Paloh dari dana publik untuk korban bencana Aceh-Nias. Bagaimana pengelolaan dananya? Popularitas Paloh juga terdongkrak, karena momentum ini.
GELOMBANG uang melanda Aceh setelah stasiun televisi Metro TV menayangkan dampak tsunami yang menghantam tanah rencong itu pada 26 Desember dua tahun silam. Selama 40 hari penuh lewat siaran “Breaking News” dan program ”Indonesia Menangis”, stasiun swasta tersebut berhasil menguras air mata pemirsa di luar Aceh. Siaran itu pula yang menggugah pemirsa untuk menyumbangkan harta benda maupun uang mereka. Bahkan tak sedikit pemirsa nekat jadi sukarelawan setelah menontonnya.
Kabar duka Aceh pun segera tersiar di luar negeri. Selang beberapa pekan, 15 negara donor sepakat menyatukan bantuan mereka dalam Dana Multi Donor bagi Aceh dan Nias, sebesar 525 juta dolar AS. Lembaga ini dipimpin secara kolektif oleh perwakilan Uni Eropa (yang merupakan pendonor terbesar), Bank Dunia, dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Bank Pembangunan Asia tak ketinggalan mengucur dana 300 juta dolar AS.
Jakarta benar-benar sibuk. Bos Metro TV, Surya Paloh, segera menggelar rapat, membentuk tim, lalu mengatur penyaluran bantuan ke Aceh. Gudang yang terletak di kompleks Media Group tak mampu membendung banjir bantuan pangan dan sandang dari jutaan pemirsa.
Paloh menghubungi kolega-koleganya di maskapai penerbangan. Lion Air, Adam Air, Airfast, dan beberapa maskapai lainnya setuju ikut urun bantuan. Alhasil penggalangan bantuan yang bertumpuk di Kedoya, markas besar Media Group di Jakarta, pelan-pelan mengalir ke Aceh.
Di samping menerima bantuan barang, melalui “Indonesia Menangis” stasiun swasta ini membuka rekening di Bank Central Asia dan Bank Mandiri. Dana yang terkumpul juga menggunung. Dalam tempo kurang dari sepekan sudah terkumpul Rp 40 miliar!
Mutia Safitri termasuk satu dari jutaan pemirsa yang menyaksikan “Indonesia Menangis” dan tak kuasa membendung ibanya pada Aceh. Mutia adalah pegawai di bagian asuransi ekspor PT Asuransi Ekspor Indonesia.Dia langsung mengkoordinasi pengumpulan dana di kantornya yang terletak di lantai 22 gedung Menara Kadin, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Hasil kerja spontan itu cukup lumayan. Mutia yang dibantu beberapa rekannya berhasil mengumpulkan uang Rp 5,33 juta dari sekitar 50 karyawan. Tiga hari setelah tsunami menyapu Aceh, 29 Desember 2004, Mutia lekas-lekas menyalurkan dana itu ke rekening PT Citra Media Nusa Purnama di Bank BCA atas nama karyawan PT Asuransi Ekspor Indonesia.
Mutia tak peduli jika itu rekening perusahaan milik Surya Paloh. Padahal rawan juga memasukkan dana publik ke rekening perusahaan yang jelas bertujuan bisnis.
“Niatnya, ya ikhlas saja karena terdorong rasa kemanusiaan,” kata Mutia pada saya.
Selain Metro TV, sejumlah media elektronik dan cetak membuat program serupa. Stasiun SCTV meluncurkan “Pundi Amal SCTV”. RCTI menayangkan “RCTI Peduli”. Kelompok Kompas Gramedia mengetuk hati pembaca lewat “Dompet Kemanusiaan Kompas”. Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Republika serentak membuka jalur bantuan dari pembaca mereka.
Dalam buku Galang Dana Ala Media yang diterbitkan Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) pada 2003, terbukti bahwa media televisi menempati urutan pertama untuk menggaet simpati pemirsa. Alasannya sederhana, pesan lewat media lebih mampu mengeksplorasi dan mengeksploitasi rasa kemanusiaan publik.
Penelusuran PIRAC baru-baru ini mengungkap total penggalangan dana masyarakat lewat media elektronik dan cetak untuk korban tsunami di Aceh dan Nias selama satu bulan pasca bencana. Jumlahnya mencapai Rp 310,891 miliar. Angka itu terus bertambah kendati tak meledak. Hingga Agustus 2005, jumlah dana bantuan yang terhimpun sekitar Rp 367,170 miliar.
Namun tak ada yang menyamai rekor program pengumpulan dana yang dilakukan Paloh dan anak buahnya. Media Group menduduki rangking pertama dengan angka mencapai Rp 169,185 miliar. Di peringkat kedua tak lain Kelompok Kompas Gramedia–termasuk TV7—yang menuai Rp 50,687 miliar.
Sejak itu Paloh jadi populer.
SURYA Dharma Paloh putra Aceh. Dia lahir di Kutaraja, Banda Aceh, 55 tahun silam. Bapaknya, Muhammad Daud Paloh, pernah menjabat Komandan Kepolisian Resort Tapanuli Utara.
Paloh muda ikut mendirikan Persatuan Putra-Putri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tahun 1968 di Medan.
Umur 19 tahun dia sudah jadi kandidat legislator Partai Golongan Karya (Golkar) tingkat lokal. Selain terjun ke politik, Paloh juga berbisnis. Pelan-pelan kedua jalur itu membawanya ke Jakarta. Di ibukota, dia mulai mengibarkan bendera usaha di media massa.
Pada 1986 Paloh menerbitkan suratkabar Prioritas. Tapi umur harian ini tak panjang. Prioritas dibreidel Harmoko, yang ketika itu menjabat menteri penerangan. Pasalnya, Prioritas menerbitkan ramalan tentang ekonomi makro pemerintah Indonesia yang dianggap menyesatkan dan meresahkan masyarakat.
Tapi Paloh tak patah arang. Dia menerbitkan koran lagi. Kali ini diberi nama Media Indonesia. Bahkan, dua tahun setelah Soeharto turun, tepatnya pada 18 November 2000, Paloh merambah dunia penyiaran. Dia mendirikan televisi berita 24 jam pertama di Indonesia: Metro TV.
Perusahaannya, PT Media Televisi Indonesia, berhasil mengantongi izin frekuensi yang diterbitkan Departemen Penerangan. Hampir tiga tahun setelah itu, Metro TV punya gedung berlantai sembilan di kawasan Kedoya, Jakarta Barat.
Namun, Paloh selalu kembali pada politik. Dia masih kader loyal Partai Golkar.
Menjelang Pemilu 2004, Paloh ikut Konvensi Nasional yang digelar partai berlambang beringin itu. Konvensi bertujuan memilih dan menetapkan calon Presiden Republik Indonesia dari Partai Golkar.
Dia bersaing dengan ketua umum Golkar, Akbar Tanjung. Kandidat lain yang berkompetisi di situ termasuk pensiunan jenderal macam Wiranto dan Prabowo Subiyanto. Dari kalangan aktivis perempuan ada Marwah Daud Ibrahim.
Metro TV menyiarkan langsung proses pemungutan suara. Tapi Paloh gagal. Pemenangnya, Wiranto.
HARI berganti hari, bulan berganti bulan, derasnya arus bantuan ke Aceh dan Nias tak lagi hebat, seiring surutnya air mata pemirsa. Perhatian orang tercerap ke dalam berbagai berita aktual, infotainment, reality show, dan siaran lain.
”Pergerakannya tidak begitu signifikan setelah momentum itu hilang,” kata F. Saiful Bahri, Manajer Promosi Media Indonesia, kepada saya April lalu.
Dua hari selepas tsunami, Saiful ikut bergabung dalam tim yang dipimpin Paloh ke Aceh dan Nias.
Kondisi Aceh pasca tsunami hancur-hancuran. Setahun setelah tsunami, meenurut catatan BRR, masih ada sekitar 67.500 pengungsi yang tinggal di tenda-tenda darurat. Sedikitnya 50 ribu orang masih menempati barak-barak. Sebagian lainnya menumpang di rumah sanak-saudara.
Aceh dan Nias masih membutuhkan sekitar 120.000 rumah baru. Hingga Maret tahun ini, yang selesai dibangun baru 30 persen. Sedangkan dari 3.000 kilometer panjang jalan yang rusak, baru 235 kilometer yang selesai dibenahi. Lima pelabuhan baru dibangun dari total 14 pelabuhan yang hancur.
Menurut Saiful, kondisi tersebut membuat Paloh berencana mendirikan sebuah yayasan. Lembaga nonprofit ini bakal bergerak di bidang sosial, kemanusiaan, dan keagamaan.
Struktur organisasi dibentuk. Paloh duduk sebagai Pembina. Lestari Moerdijat sebagai Ketua Yayasan. Hasballah M. Saad, tokoh Aceh yang pernah jadi Menteri Negara Hak Asasi Manusia di era Gus Dur, didaulat menduduki kursi Penasehat. Posisi Ketua Majelis Pendidikan ditempati Komaruddin Hidayat. Di Universitas Islam Negeri Jakarta, dia menjabat Direktur Program Pendidikan Pascasarjana. Hasballah, selain menjadi penasehat juga bertugas di Bagian Hubungan Eksternal. Ketua Tim Pelaksana Pendidikan dipegang Ahmad Baedowi.
Jajaran pengurus harian diisi petinggi-petinggi kelompok usaha Media Group. Firdaus Dayat, Manajer Keuangan Metro TV, misalnya, menduduki posisi yang sama di yayasan. Liese Budianto, Manajer Pemasaran perusahaan jasa boga Indocater, memimpin bagian administrasi. Bagian proyek dipimpin General Manager General Affair Media Group, Mutyadewi Soebagio. Sedangkan F. Saiful Bahri, Manajer Promosi Media Indonesia, mengepalai Bagian Promosi dan Hubungan masyarakat.
“Mereka yang direkrut dipilih berdasarkan spesialisasi dan kompetensi. Umumnya mereka juga pernah terlibat di awal-awal pengumpulan dan penyaluran bantuan,” ujar Saiful.
Berbeda dengan tenaga profesional yang mendapat gaji, para pengurus harian bekerja cuma-cuma. ”Karena sudah dapat gaji dari Media Group,” ujarnya, lagi.
Pada 15 Februari 2005, Paloh bersama Lestari Moerdijat, Ana Widjaya, Rahmi Lohwur dan Rachmadi Heru mendirikan Yayasan Sukma. Mereka semua orang Media Group. Stafnya direkrut lewat iklan lowongan yang dimuat Media Indonesia.
Yayasan ini beralamat di kompleks Metro TV, Kedoya. Tapi kantor operasionalnya terletak di Jalan RP Soeroso, Gondangdia Lama, di sebelah gedung Indocater.
AWAL Mei 2005, dana program bantuan “Indonesia Menangis” senilai Rp 134,028 miliar yang dikumpulkan dari pemirsa diserahkan kepada Yayasan Sukma. Tapi mestikah dana masyarakat miliaran rupiah itu diserahkan kepada lembaga baru ini? Mengapa dana tersebut tak langsung disalurkan pada lembaga-lembaga bantuan yang sudah berpengalaman dan lebih siap mendistribusikannya, misalnya?
Alasan resmi Yayasan Sukma tertera pada laporan kegiatan kemanusiaan ”Indonesia Menangis Media Group” yang dimuat Media Indonesia pada 4 Mei 2005: ”agar seluruh pengelolaan dana sumbangan masyarakat melalui Dompet Kemanusiaan Indonesia Menangis dapat berjalan lebih efektif dan dikelola secara lebih profesional untuk jangka panjang.”Namun tak banyak penyumbang yang tahu soal rencana dan penyerahan dana “Indonesia Menangis” ke Yayasan Sukma. Namun, Mutia Safitri dari PT Asuransi Ekspor Indonesia tak ambil pusing.
“Selama itu positif, kita setuju saja,” ujar Mutia.
Aksi Paloh memindahkan dana publik ke yayasan yang didirikannya itu dikritik Hamid Abidin. Dia peneliti dan mengepalai program Penguatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil di PIRAC. Bersama timnya, Hamid pernah melakukan penelitian soal efektivitas penggalangan sumbangan yang dilakukan media massa pada 2003. Menurutnya, sebelum dana sumbangan itu dialihkan, rencana itu mesti diumumkan kepada donatur atau publik.
“Secara etika harus declare (diumumkan) dulu kepada donatur. Secara hukum, donatur bisa menggugat, karena itu dana publik. Di kita (Indonesia) unik. Ada kesan begitu dana terkumpul bisa diapakan saja, terserah pengumpul dana. Padahal itu kan dana publik,” ujar Hamid. Kini Hamid dan tim PIRAC tengah menyusun laporan soal penggalangan dana lewat media untuk tsunami di Aceh dan Nias.
Protes boleh saja, tapi dana itu sudah mengalir. Yayasan Sukma, dalam laporan keuangannya, mengklasifikasikan uang miliaran itu sebagai bagian kontribusi yang tidak dibatasi dalam laporan aktivitas dan perubahan aktiva bersih. Yayasan ini juga sudah merekrut 38 karyawan kontrak untuk melancarkan program-program mereka, termasuk lagi-lagi… melakukan penggalangan dana.
Lebih dari separuh dana dialokasikan Yayasan Sukma ke proyek pembangunan tiga kompleks sekolah, yaitu di Lhok Seumawe seluas 7,23 hektar, di Pidie seluas 7,5 hektar, dan di Bireuen seluas 7,2 hektar. Di luar itu, satu kompleks sekolah juga dibangun di Nias, Sumatera Utara.
Untuk tiga kompleks sekolah yang dibangun di Aceh total dana mencapai Rp 78 miliar. Konstruksinya dilakukan dua kontraktor, PT Adhi Karya dan PT Hutama Karya. Proyek sekolah di Nias yang menghabiskan dana sebesar Rp 4,85 miliar dikerjakan PT Waskita Karya.
Sekolah Sukma Bangsa. Begitu nama lengkap sekolah impian itu. Agar mimpi tersebut jadi kenyataan, yayasan menggandeng Institute for Society Empowerment atau INSEP sebagai konsultan. Lembaga yang berkantor di Ciputat, Tangerang, ini diketuai Ahmad Baedowi. Pria ini dari kalangan dalam. Dia adalah Ketua Tim Pelaksana Pendidikan di Yayasan Sukma.
INSEP dikontrak untuk membuat cetak biru seluruh kompleks sekolah. Mereka juga diamanatkan untuk menerapkan, mengembangkan, dan memelihara sistem pendidikan Sekolah Unggulan Kemanusiaan atau disingkat SUKMA.
Pada 21 Mei lalu INSEP resmi dikontrak 19 bulan. Bayarannya Rp 181.303.122. Dari jumlah itu, biaya persiapan pendidikan menelan dana sekitar Rp 7,809 miliar. Sisanya untuk biaya manajemen.
Rencananya di setiap kompleks sekolah dibangun fasilitas pendidikan tingkat dasar hingga tingkat menengah. Masing-masing terdiri dari 12 sekolah dasar, enam sekolah menengah pertama, dan enam sekolah menengah atas. Kompleks itu juga dilengkapi kantor sekolah, asrama putra dan putri, lapangan olah raga serta mushola. Fasilitas perpustakaan dan laboratorium juga dibangun.
Yang menakjubkan, orangtua murid tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya sekolah anak mereka di situ. Gratis!”Seluruh biaya diambil dari Dana Abadi, yaitu dana yang disisihkan dari sumbangan masyarakat yang dipercayakan kepada Media Group,” kata Paloh seperti dilansir Media Indonesia.
Karena dibangun di atas tanah yang disediakan pemerintah setempat, setelah selesai pembangunannya yayasan akan menyerahkan pengelolaan sekolah-sekolah itu ke pemerintah setempat dan menjadi sekolah negeri.
Semula proyek ditargetkan selesai akhir 2005, tapi meleset. Tanda-tanda proyek rampung baru terlihat tahun ini. Di Pidie gedung-gedung bergenteng merah sudah berdiri megah. Kompleks sekolah tersebut dikelilingi pagar tinggi. Dari luar tampak bangunan asrama, lapangan bola, hingga gedung musola berkubah setengah bola. Begitu pula di pembangunan Bireuen dan di Lhokseumawe.
Bangunan sekolah itu terlihat mewah. Tapi Hamid Abidin dari PIRAC malah menganggapnya mubasir.
“Mestinya kan tanya kepada para korban. Apa iya, orang-orang Aceh butuh sekolah yang sangat-sangat modern begitu? Jangan-jangan mereka hanya butuh sekolah yang ukuran standar, sehingga sisa dana miliaran rupiah itu bisa didistribusikan untuk keperluan yang lain,” katanya.
Sebenarnya bangunan sekolah yang bagus dan fasilitas lengkap justru membuat proses belajar-mengajar lebih nyaman dan efektif untuk anak-anak Aceh. Lucu juga pikiran orang ini, pikir saya. Hamid kemudian mengajukan alasan lain. Dia cemas bias kepentingan muncul di sana.
”Misalnya, dalam teknis penyaluran bantuan jangan sampai yang menonjol justru tokoh atau medianya. Padahal bantuan yang diberikan itu kan dana publik. Ini yang harus dibatasi. Kalau tidak, akan menimbulkan orang curiga.”
Paloh orang politik. Popularitas itu wajib hukumnya di arena politik, selain berkantong tebal. Tapi sejauh mana Yayasan Sukma menjadi kendaraan politik Paloh? Saya mengirim email pada F. Saiful Bahri, Manajer Promosi Media Indonesia merangkap Kepala Bagian Promosi dan Hubungan Masyarakat Yayasan Sukma, menanyakan soal ini. Saiful sama sekali tak menjawab pertanyaan saya. Bunyi pesan pendek yang dikirimnya juga ganjil: “Sudah ada kontak pimpinan Sukma-Pak Baedowi-Pak Hamid Basyaib.”
Hamid Basyaib? Dulu dia adalah kontributor majalah Pantau. Dia punya kolom khusus di situ. Dia menulis politik dengan gaya satir dan lucu. Setelah majalah tutup dan Yayasan Pantau bergerak di bidang pelatihan jurnalisme serta sindikasi media, Hamid kemudian menjadi penasehat yayasan ini.
Ketika saya mengungkap pernyataan Saiful padanya, Hamid malah tercengang.
“Ada urusan apa? Tidak pernah ada kontak dengan saya. Saya memang berteman dengan Baedowi. Tapi hanya secara pribadi. Dan saya tidak pernah dihubungi soal itu,” katanya kepada saya, dalam sebuah percakapan telepon.
SEPARUH mimpi Paloh sudah di depan mata. Tapi bagaimana dengan laporan pengelolaan anggaran miliaran rupiah yang jadi amanat pemirsa “Indonesia Menangis”?
“Itu ‘kan dana publik, dan filantropi ini ‘kan bisnis kepercayaan. Yayasan harus mengumumkan laporan keuangannya ke publik,” ujar Hamid Abidin.
Laiknya organisasi nirlaba lainnya, yayasan memperoleh sumber dana dari sumbangan. Para penyumbang perlu mengetahui kerja organisasi itu lewat laporan keuangan. Publik ingin tahu sumbangan mereka digunakan untuk apa saja.
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45 soal pelaporan keuangan organisasi nirlaba yang dirilis Ikatan Akuntan Indonesia, pengguna laporan akan menilai dua hal dari laporan keuangan organisasi nirlaba.
Pertama, jasa yang diberikan organisasi dan kemampuannya untuk terus memberikan jasa. Kedua, menilai cara manajer melaksanakan tanggung jawabnya dan aspek kinerja manajer.
Saiful setuju soal audit terhadap pengelolaan dana yayasan. Alasannya, hasilnya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap yayasan.
”Sebelum yayasan didirikan kami sudah berkonsultasi dengan E&Y. Karena kami berpikir bahwa dana yang terkumpul ini harus dikelola secara transparan dan akuntabel,” kata Saiful, seraya memberikan salinan dokumen hasil auditor independen itu kepada saya.
Ernst & Young (E&Y) merupakan lembaga auditor independen profesional dunia yang membuka cabang di sejumlah negara. Menurut sejarah, kantor akuntan publik ini hasil dari serangkaian penggabungan dari beberapa kantor akuntan. E&Y banyak mengaudit perusahaan beraset miliaran dolar. Antara lain waralaba McDonald’s, Wal-Mart, 3M, Oracle, Google, Intel, Hewlett-Packard, hingga raja minuman ringan Coca Cola.
Di bawah bendera kantor akuntan internasional E&Y, Kantor Akuntan Publik Prasetio, Sarwoko & Sandjaja mengaudit laporan posisi keuangan, laporan aktivitas, perubahan aktiva bersih, dan laporan arus kas sejak Yayasan Sukma berdiri hingga 31 Oktober 2005. Laporan hasil auditor independen itu dirilis 27 Januari 2006 lalu dan ditandatangani Ronny Wijata Dharma dengan izin akuntan publik nomor 98.1.0141.
Dalam laporan posisi keuangan tersebut tertulis jumlah aktiva sebesar Rp 146.670.988.594. Jumlah aktiva lancarnya Rp 95.622.829.746. Dari dana itu, nilai total kas dan setara yang antara lain dalam bentuk kas, kas yang disimpan di bank, dan dalam bentuk deposito berjangka sebesar Rp 90.981.906.556.
Aktiva tak lancar sebesar Rp 51.048.158.848. Senilai Rp 50.206.260.494 berasal dari proyek sekolah yang bakal disumbangkan ke pemerintah daerah.
Total penerimaan yayasan yang berasal dari pendapatan yang tidak dibatasi berjumlah 142.566.067.482. Sebesar Rp 138.706.145.734 bersumber dari kontribusi yang tidak dibatasi.
Di dokumen tersebut tercatat program “Indonesia Menangis” yang digalang Metro TV menyumbangkan uang sebesar Rp 134.028.565.849. Penyumbang perusahaan senilai Rp 3.496.959.424, dan penyumbang individu Rp 1.180.620.461.
Selain dari kontribusi, penerimaan yang diperoleh yayasan bersumber dari nisbah dan pendapatan bunga setelah dikurangi pajak sejumlah Rp 3.288.031.748. Lalu hasil penghimpunan dana sebesar Rp 571.890.000.
Sedangkan biaya operasi yayasan dibagi dua. Pertama biaya proyek yang terdiri dari proyek pendidikan dan proyek kemanusiaan dan keagamaan. Totalnya Rp 5.185.371.194.
Biaya operasi kedua digunakan untuk biaya administrasi senilai Rp 3.193.334.350. Manajemen dan umum menelan biaya Rp 2.754.764.439. Untuk penghimpunan dana sebesar Rp 433.626.350. Senilai Rp 4.943.561 untuk biaya lain-lain.
Pada poin biaya operasi untuk biaya administrasi manajemen dan umum tercatat sebanyak Rp 2.754.764.439. Dari jumlah ini, biaya untuk komponen gaji sebesar Rp 1.301.997.673. Sehingga total biaya operasi senilai Rp 8.378.705.544.
Menurut konvensi, maksimal biaya operasional adalah seperlima dari total bantuan. Semakin kecil, maka organisasi itu dinilai makin baik. Bila berpedoman pada konvensi itu untuk sementara Sukma tampak “bersih”.
Audit yang dilakukan Kantor Akuntan Publik Prasetio, Sarwoko & Sandjaja (E&Y) meliputi pemeriksaan, atas dasar pengujian, bukti-bukti yang mendukung jumlah-jumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan yayasan. Audit juga meliputi penilaian atas prinsip akuntansi yang digunakan dan estimasi signifikan yang dibuat manajemen serta penilaian terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.
Kantor akuntan ini berpendapat, laporan keuangan yang mereka sebut di atas menyajikan secara wajar. ”Sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia,” demikian bunyi kalimat akhir laporan hasil audit.
Kendati sebagian hasil audit itu sudah dirilis di situs milik yayasan, hingga Mei lalu tak banyak donatur yang mengakses dan membaca hasil audit tersebut.
“Apa yang dilakukan Sukma sudah cukup baik. Tapi hasil audit itu juga harus diumumkan kepada tiap donatur. Itu kalau mereka benar-benar mau menjadi lembaga filantropi yang serius tidak hanya fokus di Aceh. Sehingga publik juga bisa menilai dan dapat mengikat loyalitas donatur,” ujar Hamid.
Donatur pun banyak yang tak tahu prosedur ini. Mereka datang dari macam-macam kalangan, mulai dari anak sekolah, ibu rumah tangga, pegawai bank, pengusaha sampai perusahaan-perusahaan besar. Warga biasa yang spontan menyumbang umumnya tak memikirkan lagi nasib sumbangan mereka. Yang penting sudah disalurkan ke pihak korban.
“Niatnya, ya ikhlas saja,” kata Mutia Safitri.
NEGERI kincir angin, Nederland, punya dam yang berfungsi mengontrol gelombang pasang air laut. Di negeri
malang yang sohor karena korupsi, auditor bisa jadi sebuah alat menangkal kebocoran atas gelombang aliran uang bantuan.
Dalam tempo kurang setahun, Yayasan Sukma yang dibina Paloh berhasil mengendalikan uang bantuan. Popularitas Paloh juga terdongkrak. Tapi jangan lupa bahwa dia politisi. Bencana alam tak bisa dibuat, tapi bisa bermanfaat.
*) Dipublikasikan di sindikasi Aceh Feature Service.
Sumber: samiaji bintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar