Oleh : Chairul Darwis
Biro Ekonomi LKAAM Sumbar
Padang Ekspres • Senin, 26/12/2011 12:19 WIB • 197 klik
Beberapa waktu
lalu penulis selaku pengurus Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
Sumatera Barat diminta untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang ”pemerintahan nagari di kota” dalam sebuah seminar yang diselenggarakan LKAAM Sumatera Barat.
Seminar ini sangat efektif untuk
memelihara ketahanan agama, sosial masyarakat hukum adat, khususnya
tradisi dan filosofi syarak mangato, adat mamakai dalam terciptanya
kemandirian, peran serta dan kreativitas masyarakat adat.
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul, dan adat istiadat setempat dalam wilayah Sumatera Barat.
Pemerintahan nagari merupakan
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Nagari dan Badan Permusyawaratan Nagari berdasarkan asal usul nagari di
wilayah Sumatera Barat yang berada dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Keberadaan pemerintahan nagari sebagai suatu sistem pemerintahan terendah di Provinsi Sumatera Barat telah berkembang sebelum kolonial pemerintahan Belanda ke Indonesia. Namun, sejak era Orde Baru atau setelah lahirnya UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, sistem pemerintahan nagari seolah-olah ”tidak berdaya” dengan lahirnya undang-undang tersebut.
Sistem pemerintahan nagari secara
perlahan diganti sistem pemerintahan desa. Apalagi di waktu tersebut
untuk memperoleh bantuan desa yang banyak dan dikucurkan terhadap
desa-desa di Indonesia. Nagari-nagari dilebur menjadi desa.
Sejak diterbitkannya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, dan diperbaharui dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, pencanangan kembali ke sistem pemerintahan nagari mulai dilaksanakan.
Bahkan, hampir semua kabupaten daerah
mengeluarkan peraturan daerah tentang sistem pemerintahan nagari di
daerah tersebut. Apalagi dengan keluarnya UU No 22 Tahun 1999. Walaupun
sebenarnya keberadaan nagari sebagai sistem pemerintahan terendah di
Sumatera Barat sudah mengalami ”porak-poranda” akibat sistem
pemerintahan masa lalu.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI.
Substansi UU No 32 Tahun 2004 yang terkait dengan desa, perlu disesuaikan dengan menetapkan peraturan daerah yang baru sebagai pengganti Perda No 9 Tahun 2000, pada prinsipnya pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat tetap konsisten mempertahankan kebijakan penyelenggaraan pemerintah terendah dalam bentuk sistem pemerintahan nagari yang memiliki otonomi asli didasarkan hak asal usul, dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat.
Walaupun Perda No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari telah membuka peluang pemerintahan kota di Sumatera Barat menyesuaikan sistem pemerintahan terendah yang dikenal dengan kelurahan untuk membentuk sistem pemerintahan nagari di kota. Namun demikian, pemerintahan nagari di kota memang harus diakui agak sedikit sulit karena pengalaman selama ini dengan telah adanya sistem pemerintahan kelurahan yang jelas berpengaruh terhadap masyarakat yang heterogen dan telah mengalami perubahan lingkungan masyarakat di perkotaan. Pengalaman selama ini masih enggannya sebagian pemerintah kabupaten untuk mendelegasikan sebagian kewenangan ke nagari yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan, peran serta dan prakarsa yang bertujuan untuk kesejahteraan anak nagari.
Kembali ke pemerintahan nagari, kita tidak hanya melihat nagari sebagai wilayah administrasi pemerintahan, akan tetapi harus dimaknai pula sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Minangkabau. Seluruh masyarakat bersama-sama mengembangkan potensi nagari (potensi nagari antara lain sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan) serta mengembangkan nilai-nilai syarak, adat dan budaya di nagari, sesuai falsafah adat salingka nagari dan adat sabatang panjang untuk tercapainya suksesnya penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Sistem pemerintahan nagari di kota tentu akan mampu mempercepat terwujudnya masyarakat nagari yang adil dan makmur/sejahtera berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang berakar pada tradisi budaya dan adat istiadat setempat atau adat salingka nagari. Diharapkan akan mampu membawa perubahan taraf hidup anak nagari. Bahkan, mengubah paradigma dari orientasi top down menjadi button up. Untuk itu, diperlukan suatu pemahaman para pelaku yang terlibat tentang tugas pokok dan fungsinya. Di mana sistem pemerintahan nagari lebih bersifat mandiri.
Semangat kembali ke sistem pemerintahan nagari di kota harus adanya kemampuan politik (political will) yang kuat dari pemerintah kota dan masyarakat walaupun Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007 telah membuka peluang dibentuknya pemerintahan nagari di kota. Kota Padang sudah mengenal adanya Nagari Pauh IX, Nagari Pauh V, Nagari Limaumanih, Nagari Lubukkilangan, Nagari Kototangah, Nagari Nanggalo, Nagari Nan Duo Puluah, Nagari Taluakkabuang, dan Nagari Bunguih, Nagari Padang (Niniak Mamak nan Salapan Suku ).
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dikenal dengan UU Otonomi Daerah membuka peluang keberadaan nagari sebagai hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau. Untuk kembalinya sistem pemerintahan nagari di kota sebenarnya tidak ada ”rambu-rambu” yang dilanggar dalam peraturan perundang-undangan.
Pembentukan pemerintahan nagari di kota tentu sangat tergantung kepada keinginan masyarakat khususnya kerapatan adat nagari, tokoh masyarakat, kepala daerah dan DPRD setempat. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sesuai dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari sebenarnya membuka peluang pemerintah kota di Sumatera Barat menyesuaikan sistem pemerintahan terendah yang dikenal dengan kelurahan untuk membentuk sistem pemerintahan nagari.
Namun demikian, sistem pemerintahan nagari yang egaliter, mandiri dan orientasi kerakyatan di kota perlu diadakan kajian komprehensif dan mendalam karena dengan adanya transformasi sosial budaya yang sebagai dampak dari era globalisasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan nilai dilingkungan masyarakat Minangkabau, di samping kemauan politik (political will) pemko sendiri dan masyarakat setempat. (*)
[ Red/Redaksi_ILS ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar