Penilaian Jakob Oetama
Oleh : Marthias Pandoe
Wartawan Senior
Padang Ekspres • Selasa, 10/01/2012
Memberi pernilaian terhadap kiprah saya di Kompas selama 20 tahun, Pemimpin Umum KKG (Kelompok Kompas-Gramedia) Jakob Oetama memulai: Peredaran Kompas di Sumbar cukup luas, meski tibanya di Padang kadang-kadang siang hari tergantung pesawat dari Jakarta.
Secara berolok saya sampaikan kepada
Marthias Pandoe, jangan-jangan populernya Kompas di sana terkait
popularitas korespondennya. Ia tertawa berderai. ”Ah, bisa saja. Kompas
populer di Sumbar, karena PK Ojong, dikenal bersahabat dengan
tokoh-tokoh nasional seperti Bung Hatta dan Mohammad Natsir.”
Kenal banyak tokoh salah satu kelebihan Marthias Pandoe sebagai wartawan. Kenal kenal sumber berita, berarti memiliki akses ke sumber informasi. Kemampuan itu termasuk yang diperlukan wartawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Dalam kepustakaan tentang jurnalisme hal itu disebut fraternizatio, meski kurang pas bolehlah diindonesiakan sebagai persaudaraan.
Seperti halnya beberapa kelebihan dalam buku-buku pegangan perihal jurnalisme fraternization juga diberi caveat, hati-hati, hubungan akrab dengan penjabat/tokoh atau sumber berita jangan merugikan sosok wartawan yang independen. Rupanya, Marthias Pandoe menyadari hal itu. Jika ada hal yang penting, ia langsung menelepon saya ke Jakarta memberi tahu.
Ini merupakan cara yang efektif bagi wartawan untuk dapat melakukan
secara semestinya.Yang saya hargai dari Marthias Pandoe ialah
kesadarannya bahwa seorang wartawan apa yang akan ditinggalkannya jika
bukan tulisan, pengalaman, kesaksiaan serta pergulatan hidup dalam
berbagai tulisan.
Marthias Pandoe di Kompas pakai inisial MDP. Inisial MDP nyaris identik dengan Sumbar, dengan sosiologi budaya Minang, termasuk kedekatan yang disertai sikap kritis dan kecerdasan mengambil jarak dengan sumber-sumber berita. Lagi saya terantuk kata fraternization. Ungkapan itu mereprentasikan Bung Marthias sebagai seorang yang mudah dikenal dan akrab dengan sumber berita.
Tabiat yang disyaratkan seorang
wartawan, tapi tetap dengan sikap kritis. Bung Marthias memang gampang
akrab dengan siapa pun, termasuk sumber berita. Keakraban bisa
menguntungkan dan bisa merugikan. Menguntungkan karena informasi apa pun
termasuk yang off the record, yang sifatnya back information
disampaikan utuh apa adanya dan lebih lengkap.
Karena kedekatan, sumber berita percaya tanpa memberi peringatan off the record, wartawan yang akrab dan kritis bisa memilih mana yang bisa dan yang tidak bisa dipublikasikan. Sebaliknya, keakraban bisa juga merugikan karena keakraban bisa terjadi vested interest. Wartawan tidak bisa lagi membedakan mana informasi yang bisa jadi berita. Ukuran yang dipakai demi kenyamanan dan keselamatan sumber berita.
Bung Marthias tidak jatuh dalam kemungkinan kedua. Dia bisa akrab dengan siapa pun tapi tetap kritis, tetap menjalankan profesinya sebagai wartawan sejati. Dia pegang teguh prinsip the medium is the message, berita senantiasa punya pesan.
Kepentingan masyarakat adalah pegangan
utama dan alasan pertama dimuat tidaknya fakta dan informasi. Prinsip
the news that they want to know, juga the news they ough (seharusnya),
dia pegang erat. Dia cerdas menerjemahkan informasi dan fakta tanpa
merugikan jati diri sebagai wartawan. Intergritas itu pula yang
menyertai Bung Marthias sewaktu bekerja di Kompas. .
”Mengesankan dalam hati saya, tulisan Bung Marthias dalam feature tidak terbatas minatnya ke salah satu bidang. Mungkin inklinasinya yang generalis. Bung Marthias menulis dengan hati, komitmen demi kemaslahatan manusia,” kata Jakob Oetama.
Kompas lahir tahun 1965. Bung Marthias bergabung tahun 1970. Karena rentang waktu di antara keduanya relatif pendek, Bung Marthias di Sumbar ibarat pembawa bendera. Namanya dikenal luas. Lagi-lagi saya terantuk pada ungkapan Jenderal Mac Arthur, pahlawan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II: Old soldier never die, they just fade away. Bung Marthias memang telah berhenti sebagai wartawan Kompas, tapi naluri wartawannya senantiasa menggugat dan mencoba menyampaikan kepada publik, tidak kenal lelah, terus menulis. ”Bung Marthias pantas mengenakan mahkota wartawan. Mahkota itu pantas jadi teladan tidak saja bagi anak cucu, tapi juga kebanggaan bagi profesi wartawan,” ujar Jakob.
Rosihan Anwar
Beberapa waktu sebelum wafat tahun 2011, wartawan ternama H Rosihan Anwar sempat mengomentar tentang diri saya: H Marthias Dusky Pandoe seorang ”anak kampung” yang pendidikan formalnya tidak seberapa, namun berhasil berkembang melalui pembelajaran sendiri menjadi wartawan surat kabar besar dan bergengsi, yaitu Kompas.
Seandainya Marthias Pandoe orang Amerika
yang bergerak di dunia politik, maka riwayat hidupnya mirip Abraham
Lincoln yang pada pertengahan abad ke-19 dari asal-usul rendahan, naik
mencapai kedudukan Presiden, menempat Gedung Putih di Washington, suatu
perjalanan from the cabin logde to the White House.
Pandoe bukan orang Amerika, bukan politisi, melainkan dari lingkungan petani kampung, namun memperlihatkan social-mobility luar biasa sehingga meraih kedudukan wartawan terhormat, di dataran nasional. Salah satu kegiatan Pandoe di Sumbar, ialah turut aktif dalam pengangkatan penjabat-penjabat pemerintah, seperti gubernur. Wali Kota Padang Syahrul Ujud menggantikan Hasan Basri Durin menjadi perhatiannya. Ketika Hasan Basri Durin jadi gubernur, Pandoe juga instrumental dalam usaha itu.
Kalau kita mengenal pribadi Pandoe lebih baik, kita akan berkesimpulan dia bukan politisi yang terobsesi kekuasaan. Pandoe bersikap terlalu bersahaja. Pandoe tidak berjiwa manipulatif. Liku-liku otaknya tidak terpasung pada intrik-intrik dan pemainan kekuasaan. Pandoe orang yang basiluruih, lurus tidak macam-macam.
Pandoe suatu ketika berkecimpung dalam
dunia politik lokal, namun dia tetap wartawan tulen. Menurut sebuah
definisi pakar komunikasi Amerika Lucian Pye: jurtnalist are people who
know politic. Jadi Pandoe tahu politik, tapi dia bukan politikus. Pandoe
punya persamaan dengan saya. Lahir 10 Mei 1930, sedang saya 10 Mei,
delapan tahun sebelumnya. Sama-sama bintang Taurus. dan istri kami
sama-sama nama Zuraida.
Zaili Asril
Menurut H St Zaili Asril (pemimpin harian Padang Ekspres Group, Marthias Dusky Pandoe bagi dan dalam kehidupan saya sebetulnya juga bagi dunia kewartawanan menempati posisi dan peran yang istimewa.
Secara pribadi, Pak Pandoe mempunyai
posisi dan peranan sebagai ”orangtua rohaniah” dan sebagai guru. Saya
memandang Pak Pandoe orangtua yang membina saya jadi wartawan, memulai
karir kewartawanan di harian pagi Kompas Jakarta, di bawah didikan
beliau.
Nah, karena tempaan dan bimbingan beliaulah saya menjadi wartawan. Saya berutang budi yang mungkin tidak terbayarkan kepada beliau. Saya pernah berniat membayarnya dengan membuat biografi beliau. Tapi saya tidak cukup pandai mengatur waktu.
Kuat keinginan saya untuk menulis
biografi Marthias Pandoe, karena dalam pandangan saya beliau adalah
dokumentasi hidup sejarah dan perkembangan pers daerah—juga nasional—ada
dalam memori wartawan tiga zaman ini. Saya sering dihinggapi
kekhawatiran kalau semua itu dibawa pergi dan hilang bilamana beliau
dipanggil Yang Maha Kuasa ke haribaan-Nya. Pak Pandoe menulis dengan
jujur, sederhana, bersahaja, menggunakan kalimat pendek sehingga mudah
dimengerti.
Entahlah akan terasa lancang bila saya mengatasnamakan diri sebagai mewakili masyarakat Sumatera Barat menyampaikan terima kasih kepada Pak Pandoe, ibarat sebuah award yang memang sepantasnya diberikan kepada beliau.
Julius Pournomo
Rekan sekantor saya di Kompas, wartawan senior Julius Pournomo (JUP), pertama dalam penilaiannya mengutip juga ucapan Jenderal Mac Artur old soldier never die, they just fade away. Kalimat bersayap ini sangat dikenal diucapkan Mac Arthur. Prajurit tua tidak pernah meninggal. Dia hanya bakal surut ke belakang.
Sebagai seorang jenderal bintang satu, Mac Arthur telah memimpin pasukannya bertempur di daratan Eropa dalam Perang Dunia I. Kemudian sebagai jenderal bintang empat berlaga di kawasan Lautan Pasifik selama Perang Dunia II. Dan selaku jenderal bintang lima, memimpin langsung pasukan antar bangsa (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam perang Korea. Padanan semacam ini selalu saya kemukakan setiap bertemu dengannya, yang akrab saya sapa Datuk dan dikenal inisialnya di Kompas sebagai MDP.
Satu sisi membuktikan mengenai keteladanan Datuk yang tanggal 10 Mei 2010 mencapai usia 80 tahun, menulis buku bertajuk Jernih Melihat, Cermat Mencatat. Sebuah buku keteladanan sikap profesional dari seorang wartawan mengenai makna sangat dalam untuk mengisi kalimat bersayap sesuai pernyataan Mac Artur.
Sebelumnya dia telah menulis buku A Nan
Takana, memoar seorang wartawan. Kedua buku diterbitkan Kompas. Datuk
sampai sekarang selalu membuka mata untuk bisa mengamati segala macam
persoalan dan menggerakkan jari tangan mencatat sekaligus menuangkan
dalam tulisan. ”Marthias Pandoe tidak hanya sekadar nama dari seorang
wartawan, melainkan pribadi keteladanan yang mengabdi tanpa pamrih,”
demikian penilaian JUP.(*)
[ Red/Redaksi_ILS ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar