INILAH.COM, Jakarta - Kabar tentang merapatnya Hary
Tanoe ke Surya Paloh melalui Partai Nasdem, cukup menarik dan
mengejutkan. Keduanya bisa bersinergi sehingga patut diperhitungkan
lawan.
Sebagai pemilik media, Hary Tanoe dan Surya Paloh, satu sama lain saling bersaing. Persaingan bisnis mereka di bidang media, cukup ketat. Tidak kalah ketatnya dengan persaingan yang terjadi di partai -partai politik.
Lihat saja bagaimana RCTI dan Metro TV saling membajak crew teve, mulai dari jajaran presenter, reporter hingga di level direksi. Menarik dan mengejutkan, sebab Hary Tanoe sejauh ini dikenal hanya piawai bergaul dengan kalangan politisi, tetapi minim pengetahuan tentang politik Indonesia yang sesungguhnya. Sementara Surya Paloh seorang politisi senior yang super matang.
Dari segi kematangan politik, perbandingan Tanoe dan Paloh ibarat murid dan suhu. Sehingga Harry Tanoe akan sulit mendikte Surya Paloh tentang bagaimana Partai Nasdem harus dibawadan dipimpin.
Sebaliknya dari segi bisnis media, Hary Tanoe dikenal sebagai pengusaha tangguh dan penuh kreatifitas. Hal itu dibuktikannya dalam banyak hal. Ketangguhannya antara lain terlihat dari perlawanannya terhadap Siti Hardiyanti Rukmana alias mbak Tutut dalam sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Mbak Tutut yang ayahnya Jenderal Soeharto, bekas penguasa Orde Baru dan menjadi Presiden RI selama 32 tahun, dibuat Hary Tanoe ‘tidak berkutik’. Setidaknya sengketa bisnis mereka hingga sekarang masih menghasilkan keberpihakan pada Harry Tanoe. Mbak Tutut tetap tidak bisa mengelolah TPI.
Kreativitas Harry Tanoe terlihat dari terobosannya melalui perusahaan holding MNC (Media Network Consolidated). MNC, sekalipun baru berdiri di 2005, tetapi pada 2008, dalam waktu tiga tahun, sudah bisa menjadi perusahaan publik. Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dengan mudahnya menyetujui MNC menjadi perusahaan publik, anggota Bursa Effek Indonesia.
Artinya dengan gampangnya Harry Tanoe meyakinkan bahwa dalam waktu tiga tahun, neraca MNC sudah "biru", sehingga layak disetujui menjadi anggota masyarakat Pasar Modal. Sesuatu yang sangat jarang bahkan mustahil dalam bisnis media.
Melalui MNC, Hary Tanoe melakukan akuisisi ataupun kemitraan strategis dengan sejumlah pemilik radio swasta niaga, televisi lokal, termasuk pengembangan channel-channel kosong yang ada di jaringan TV Berbayar Indovision. MNC juga menerbitkan media cetak seperi Seputar Indonesia yang nota bene saingan dari harian Media Indonesia milik Surya Paloh.
Ketangguhan dan kreativitas Hary Tanoe juga terlihat dari kemampuannya "menaklukkan" Bambang Trihatmodjo, pendiri dan eks pemegang saham mayoritas PT Bimantara Citra. Entah bagaimana sejarahnya, tiba tiba semua kontrol Bimantara sudah bukan lagi di tangan Bambang Tri.
Kurang dari lima tahun setelah Hary masuk Bimantara, tanpa banyak bicara, Bimantara Citra tiba-tiba sudah berubah nama: Global Media Network. Bimantara tinggal kenangan. Namanya sudah tidak berkibar lagi di Gedung Bimantara, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Namanya sudah berubah, Menara Kebon Sirih. Harry Tanoe secara cerdik mampu menghapus torehan sejarah bisnis yang pernah dibuat oleh putera bekas Presiden RI tersebut.
Sangat berbeda dengan pencapaian Surya Paloh di bidang bisnis media. Keraksasaan ataupun kesuksesan Hary Tanoe melampaui reputasi Surya Paloh. Secara proporsional perbedaan mereka ibarat antara industriawan (Harry Tanoe) dan pengusaha UKM (Surya Paloh).
Hary Tanoe pengusaha piawai yang tertarik di bidang politik, sementara Surya Paloh politisi piawai yang tertarik di bidang usaha (media). Pertanyaan menarik, apa agenda penggabungan kedua konglomerat media tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, bisa disebutkan, penggabungan ataupun bergabungnya Hary Tanoe dan Surya Paloh merupakan sebuah keputusan yang cerdas. Hary Tanoe memahami kelemahan dan liability-nya melihat potensi tersembunyi yang ada di diri Surya Paloh. Dalam konteks seperti itu, Harry bisa dianggap mencari sahabat yang bisa melindunginya.
Dengan berkawan bersama Surya Paloh, Harr Tanoe bisa aman dari serangan-serangan terhadap dirinya yang menggunakan isu SARA (suka, agama, ras dan antargolongan). Sebuah isu yang hanya mungkin dilawan oleh Surya Paloh yang dikenal sangat pluralis dan nasionalis.
Sehingga keputusan mereka adalah dalam rangka menguatkan kemitraan strategis. Mereka saling mengisi. Kelemahan Hary diisi Surya begitu sebaliknya. Akhirnya yang ada adalah sebuah kekuatan. Maka kemitraan mereka bakal menjadi sebuah sinergi yang kuat, terutama di bidang media.
Melalui media, keduanya bisa menghasilkan opini-opini publik yang tak mudah dilawan oleh media lainnya. Setiap suara publik yang nafasnya beroposisi akan lebih nyaring dan luas didisiminasi oleh media di bawah kontrol Hary Tanoe dan Surya Paloh.
Dalam konteks pembentukan opini, salah satu yang bisa dengan mudah dan cepat dilihat serta dirasakan adalah penyatuan persepsi di media televisi dan internet. Sebab televisi dan internet merupakan media yang paling cepat membentuk pengaruh di dunia pemberitaan saat ini.
Hal ini terjadi karena hadirnya media jejaring sosial berupa twitter, facebook dan blackberry messenger. Puluhan juta telepon genggam, dengan mudahnya menyebarkan semua informasi secara real time.
Media milik Harry Tanoe dan Surya Paloh besar kemungkinan akan berhadap-hadapan langsung dengan TVOne, televisi milik Ketua Umum DPP Golkar, Aburizal Bakrie. Berita-berita VIVAnews milik Aburizal Bakrie, bakal bersaing ketat dengan OKEzone.com dan MediaIndonesia.com milik Harry Tanoe dan Surya Paloh.
Sehingga akan sangat menarik untuk menunggu bagaimana hasil pemersatuan Harry Tanoe dan Surya Paloh. Jauh lebih menarik untuk menunggu, apa hasil perubahan Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan SBY.
Dan yang pasti Harry dan Surya memiliki beberapa musuh bersama, di antaranya SBY. Agenda mereka jelas, Presiden RI periode 2014-2019 harus bebas pengaruh SBY. Mereka ingin menjadi "King" di Indonesia, melalui media dan Partai Nasdem. Kalaupun tidak berhasil, minimal menjadi "King Maker".
Melihat latar belakang kehidupan mereka berdua, yang semenjak usia muda, sudah memiliki etos kerja yang tinggi dan sama-sama berangkat dari modal tekad yang kuat, kemudian berhasil, kebersamaan Tanoe-Paloh memiliki fondasi yang kuat.
Dua tokoh ini paling tidak suka diremehkan. Adrenalin mereka akan membesar tiba-tiba hanya untuk menjawab sikap yang meremehkan mereka. Oleh karenanya jangan pernah meremehkan sinerginya Tanoe dan Paloh. [mdr]
Sebagai pemilik media, Hary Tanoe dan Surya Paloh, satu sama lain saling bersaing. Persaingan bisnis mereka di bidang media, cukup ketat. Tidak kalah ketatnya dengan persaingan yang terjadi di partai -partai politik.
Lihat saja bagaimana RCTI dan Metro TV saling membajak crew teve, mulai dari jajaran presenter, reporter hingga di level direksi. Menarik dan mengejutkan, sebab Hary Tanoe sejauh ini dikenal hanya piawai bergaul dengan kalangan politisi, tetapi minim pengetahuan tentang politik Indonesia yang sesungguhnya. Sementara Surya Paloh seorang politisi senior yang super matang.
Dari segi kematangan politik, perbandingan Tanoe dan Paloh ibarat murid dan suhu. Sehingga Harry Tanoe akan sulit mendikte Surya Paloh tentang bagaimana Partai Nasdem harus dibawadan dipimpin.
Sebaliknya dari segi bisnis media, Hary Tanoe dikenal sebagai pengusaha tangguh dan penuh kreatifitas. Hal itu dibuktikannya dalam banyak hal. Ketangguhannya antara lain terlihat dari perlawanannya terhadap Siti Hardiyanti Rukmana alias mbak Tutut dalam sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Mbak Tutut yang ayahnya Jenderal Soeharto, bekas penguasa Orde Baru dan menjadi Presiden RI selama 32 tahun, dibuat Hary Tanoe ‘tidak berkutik’. Setidaknya sengketa bisnis mereka hingga sekarang masih menghasilkan keberpihakan pada Harry Tanoe. Mbak Tutut tetap tidak bisa mengelolah TPI.
Kreativitas Harry Tanoe terlihat dari terobosannya melalui perusahaan holding MNC (Media Network Consolidated). MNC, sekalipun baru berdiri di 2005, tetapi pada 2008, dalam waktu tiga tahun, sudah bisa menjadi perusahaan publik. Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dengan mudahnya menyetujui MNC menjadi perusahaan publik, anggota Bursa Effek Indonesia.
Artinya dengan gampangnya Harry Tanoe meyakinkan bahwa dalam waktu tiga tahun, neraca MNC sudah "biru", sehingga layak disetujui menjadi anggota masyarakat Pasar Modal. Sesuatu yang sangat jarang bahkan mustahil dalam bisnis media.
Melalui MNC, Hary Tanoe melakukan akuisisi ataupun kemitraan strategis dengan sejumlah pemilik radio swasta niaga, televisi lokal, termasuk pengembangan channel-channel kosong yang ada di jaringan TV Berbayar Indovision. MNC juga menerbitkan media cetak seperi Seputar Indonesia yang nota bene saingan dari harian Media Indonesia milik Surya Paloh.
Ketangguhan dan kreativitas Hary Tanoe juga terlihat dari kemampuannya "menaklukkan" Bambang Trihatmodjo, pendiri dan eks pemegang saham mayoritas PT Bimantara Citra. Entah bagaimana sejarahnya, tiba tiba semua kontrol Bimantara sudah bukan lagi di tangan Bambang Tri.
Kurang dari lima tahun setelah Hary masuk Bimantara, tanpa banyak bicara, Bimantara Citra tiba-tiba sudah berubah nama: Global Media Network. Bimantara tinggal kenangan. Namanya sudah tidak berkibar lagi di Gedung Bimantara, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Namanya sudah berubah, Menara Kebon Sirih. Harry Tanoe secara cerdik mampu menghapus torehan sejarah bisnis yang pernah dibuat oleh putera bekas Presiden RI tersebut.
Sangat berbeda dengan pencapaian Surya Paloh di bidang bisnis media. Keraksasaan ataupun kesuksesan Hary Tanoe melampaui reputasi Surya Paloh. Secara proporsional perbedaan mereka ibarat antara industriawan (Harry Tanoe) dan pengusaha UKM (Surya Paloh).
Hary Tanoe pengusaha piawai yang tertarik di bidang politik, sementara Surya Paloh politisi piawai yang tertarik di bidang usaha (media). Pertanyaan menarik, apa agenda penggabungan kedua konglomerat media tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, bisa disebutkan, penggabungan ataupun bergabungnya Hary Tanoe dan Surya Paloh merupakan sebuah keputusan yang cerdas. Hary Tanoe memahami kelemahan dan liability-nya melihat potensi tersembunyi yang ada di diri Surya Paloh. Dalam konteks seperti itu, Harry bisa dianggap mencari sahabat yang bisa melindunginya.
Dengan berkawan bersama Surya Paloh, Harr Tanoe bisa aman dari serangan-serangan terhadap dirinya yang menggunakan isu SARA (suka, agama, ras dan antargolongan). Sebuah isu yang hanya mungkin dilawan oleh Surya Paloh yang dikenal sangat pluralis dan nasionalis.
Sehingga keputusan mereka adalah dalam rangka menguatkan kemitraan strategis. Mereka saling mengisi. Kelemahan Hary diisi Surya begitu sebaliknya. Akhirnya yang ada adalah sebuah kekuatan. Maka kemitraan mereka bakal menjadi sebuah sinergi yang kuat, terutama di bidang media.
Melalui media, keduanya bisa menghasilkan opini-opini publik yang tak mudah dilawan oleh media lainnya. Setiap suara publik yang nafasnya beroposisi akan lebih nyaring dan luas didisiminasi oleh media di bawah kontrol Hary Tanoe dan Surya Paloh.
Dalam konteks pembentukan opini, salah satu yang bisa dengan mudah dan cepat dilihat serta dirasakan adalah penyatuan persepsi di media televisi dan internet. Sebab televisi dan internet merupakan media yang paling cepat membentuk pengaruh di dunia pemberitaan saat ini.
Hal ini terjadi karena hadirnya media jejaring sosial berupa twitter, facebook dan blackberry messenger. Puluhan juta telepon genggam, dengan mudahnya menyebarkan semua informasi secara real time.
Media milik Harry Tanoe dan Surya Paloh besar kemungkinan akan berhadap-hadapan langsung dengan TVOne, televisi milik Ketua Umum DPP Golkar, Aburizal Bakrie. Berita-berita VIVAnews milik Aburizal Bakrie, bakal bersaing ketat dengan OKEzone.com dan MediaIndonesia.com milik Harry Tanoe dan Surya Paloh.
Sehingga akan sangat menarik untuk menunggu bagaimana hasil pemersatuan Harry Tanoe dan Surya Paloh. Jauh lebih menarik untuk menunggu, apa hasil perubahan Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan SBY.
Dan yang pasti Harry dan Surya memiliki beberapa musuh bersama, di antaranya SBY. Agenda mereka jelas, Presiden RI periode 2014-2019 harus bebas pengaruh SBY. Mereka ingin menjadi "King" di Indonesia, melalui media dan Partai Nasdem. Kalaupun tidak berhasil, minimal menjadi "King Maker".
Melihat latar belakang kehidupan mereka berdua, yang semenjak usia muda, sudah memiliki etos kerja yang tinggi dan sama-sama berangkat dari modal tekad yang kuat, kemudian berhasil, kebersamaan Tanoe-Paloh memiliki fondasi yang kuat.
Dua tokoh ini paling tidak suka diremehkan. Adrenalin mereka akan membesar tiba-tiba hanya untuk menjawab sikap yang meremehkan mereka. Oleh karenanya jangan pernah meremehkan sinerginya Tanoe dan Paloh. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar